Saturday, December 18, 2010

Kue Pukis

Hembusan angin itu membuat kabut yang ada di sekitarnya semakin memudar, samar-samar aku bisa melihat wajahnya. Badannya tinggi, kulitnya putih, kelihatannya china gitu, oh pasti ganteng.
“Lady!” Suara itu terdengar meneriakiku, saat aku akan berusaha mengejarnya tapi entah tiba-tiba awan hitam ada di atas kepalaku dan hujan pun turun.
“Lady, bangun!” Sontak aku bangun dari tidurku dan aku basah kuyup sebab mamaku menyiramku dengan air.
“Ma, apa apaan sih?” Aku pun marah pada mamaku.
“Kamu nggak sekolah?”
“Karena nggak sekolah makanya aku tidur ma!” Mamaku terlihat bingung, dan ia pun memberikanku senyuman dengan gigi yang meringis.
“Maaf sayang,” Hah, ternyata mama lupa kalau ini hari Minggu, padahal aku penasaran siapa orang itu. Coba saja mama tidak membangunkanku pasti aku sudah bisa melihat sosok yang sering datang dalam mimpiku itu. Melihat tubuhku yang basah kuyup aku pun menuju kamar mandi pastinya untuk mandi masa tidur lagi? Setelah selesai mandi ku lihat ponselku dan tak ada pesan untukku.
“Mending aku jalan-jalan aja deh,” Aku pun mengambil sepatuku dan bergegas meninggalkan rumah.
“Dy, mau ke mana?” Tanya mamaku.
“Jalan-jalan,”
“Nih, mama titip ya.” Mama memberiku sebuah keranjang yang isinya daftar belanjaan, ya mama menyuruhku belanja.
“Yah, mama.” Aku pun berangkat dengan wajah lesu, berangkat niat jalan-jalan ketemu temen malah disuruh ke pasar. Dengan langkah yang sangat berat aku berlari menuju pasar.
“Pukis, pukis!” Wah ada yang jualan kue pukis, kue itu adalah kue kesukaanku. Langsung aku menuju abang yang berjualan kue pukis, lalu membeli kue pukis seharga tiga ribu dolar, nggak kok rupiah.
“Bang bikin kue pukis gimana sih?” Tanyaku pada abang yang berjualan kue pukis.
“Gampang bahan-bahannya…..” Abang itu pun menjelaskan bahan dan cara membuat kue pukis, aku langsung mencatatnya dan bergegas membeli bahan-bahannya.
“Pak, terigunya satu kilo, gulanya seperempat….” Dengan semangat 45, aku membeli bahan-bahan, dan berusaha menawar sebisa mungkin walau nggak berhasil -_-“
“Capeknya, uangnya tinggal lima puluh ribu. Kenapa sisanya banyak banget ya? Oh, iya aku ke sini kan mau belanja! Ah dodol!” Aku pun membaca dengan cermat daftar belanjaan, ada kangkung, jeruk, labu siam, bayam, sirup, garam, jahe, waduh bejibun dah. Mati deh, mana cukup kalau cuma lima puluh ribu? Dengan cepat aku mencoba membeli semua pesanan mama.
“Garam berapa bu?”
“Dua ribu,”
“Lima ratus bisa bu?”
“Bisa, tapi dapatnya dikit nggak pakai tempat.”
“Okelah,” Aku berusaha sebisa mungkin mendapatkan semua pesanan mama, walau aku tahu sesampainya aku di rumah pasti mama akan marah.
“Selesai, tinggal pulang!” Dengan bangga aku berjalan menuju rumah, di jalan aku bertemu Bella musuh bebuyutanku.
“Eh, Ladoy, dari pasar?” Biasalah Bella selalu mengejekku, dan itu sudah jadi makanan sehari-hari kami, yaitu saling mengejek.
“Yaiyalah Bellek, masa dari KUA?” Perlahan Bella menghampiriku, dan mengambil salah satu belanjaanku.
“Ladoy, gue minta gulanya ya!” Bella berlari mengelilingi diriku sambil membawa, tapi aku terus berjalan dan tidak peduli dengan apa yang diperbuat Bella.
“Ladoy, beneran nih buat gue?”
“Ambil aja, orang itu buat bu Dea, tadi bu Dea nitip gula ke aku. Kalau gulanya nggak ada tinggal bilang deh kalau yang ngambil Bellek pasti bu Dea ngamuk.” Bella langsung mengembalikan gulaku (bukan merek gula, tapi maksudnya milikku), kemudian pergi. Memang permusuhan aku dan Bella tidak sampai seperti kucing dan tikus melainkan hanya sebagai teman berantem aja, kalau sahabatan juga bisa sih.
“Lady, pesenan mama ada semua?” Bukannya nanya kabar, dateng-dateng malah ditanyain belanjaan, dasar si mama.
“Ada ma, tapi alakadarnya.” Aku pun menyerahkan keranjang berisi belanjaan pada mama.
“Satu.” Mama masih tersenyum melihat belanjaanku lengkap.
“Dua.” Mama mulai bingung melihat ada barang yang tidak utuh lagi.
“Tiga.”
“Lady!” Mama menjewer telingaku, sambil menunjukkan belanjaanku.
“Apa apaan ini? Garam cuma satu sendok makan, jeruk satu buah, labu siam setengah, bayam satu ikat mana dikit banget, sirup cuma satu botol minyak kayu putih yang kecil, aduh sayang uangnya ke mana?” Ku dengar celotehan mama dengan sabar, dan kepala tertunduk.
“Buat beli bahan kue pukis ma,”
“Sebagai ganti kamu harus membuat kue pukis!” Nah, hukumannya enak banget nih, aku jadi bisa nyoba gimana caranya bikin kue pukis. Aku pun bergegas ke dapur dan mencoba membuat kue pukis sesuai cara yang telah diajarkan oleh abang tukang kue pukis.
“Mami, this is it kue pukis ala chef Lady!” Kataku sambil menunjukkan sepiring kue pukis.
“Gayamu Lad, pakek bahasa Inggris. Enak nggak ni?” Mamaku pun mencicipi kue buatanku sedikit demi sedikit lama-lama ketagihan.
“Enak banget, Lad. Bikinin lagi dong.”
“Ehm, tapi lunas ya hutang aku ke mama?” Mama hanya mengacungkan ibu jarinya, dan aku kembali ke dapur. Tak lama aku telah kembali ke hadapan mama.
“Mama udah kenyang, Dy. Kamu jual aja deh, itu kuenya lumayan buat ganti uang mama tadi.”
“Bilang aja suruh ganti uangnya,” Mamaku hanya meringis dan memberiku sebuah tampan yang beralaskan Koran, aku pun hanya menurut tidak bisa membantah.
“Kue, kue!” Sedikit demi sedikit teriakanku memanggil para tetangga untuk mencicipi kue buatanku tapi bayar. Wajah mereka memperlihatkan bahwa kue buatanku ini enak, jadi mereka membeli lagi, malah mengajak yang lain ikut beli.
“Sisa dua ni,” Kataku sambil melihat tampanku berisi 2 kue yang masih hangat. Sambil menunggu pembeli aku pun tidur di trotoar.
“Kak, saya lapar kak.” Seorang adik kecil meminta-minta padaku, aku pun memberikannya semua kue yang tersisa itu, lalu adik itu berterima kasih dan pergi.
“Kue! Beli kue!” Terdengar ada yang meneriakiku, dan perlahan terdengar suara kaki yang mendekatiku.
“Mbak, kue dong!” Sekarang dia memegang bahuku, dan saat aku berbalik.
“Bella?” Ternyata Bella, ku pikir siapa.
“Lady? Jadi kamu yang jualan kue?”
“Iya, kenapa? Nggak suka!”
“Kue kamu nggak enak.”
“Ngapai mau beli?”
“Biar yang lain nggak keracunan!” Bella pun pergi, sepertinya dia gengsi kalau disuruh membeli kueku. Kan dia musuhku. Aku pun berjalan pulang menuju rumah, dengan membawa nampan kosong. Tak terasa ada yang menepuki bahuku.
“Katanya nggak mau beli.” Tangan itu terus menepuki bahuku.
“Bella, maumu apa sih?” Aku pun berbalik badan, dan ternyata…..
“Kenalin aku Ed….”
“Lady, bangun!”
“Apa?” Seorang ibu-ibu ternyata membangunkanku.
“Kamu tuh ketiduran gara-gara nunggu dagangan kamu abis. Ini ibu mau beli.” Ternyata cuma mimpi, ku kira beneran. Setelah itu aku berjalan menuju rumah dan memberikan uang hasil penjualan kue pukisku pada mama. Dan menuju tempat tidurku. Aku berpikir kenapa setiap aku tertidur pasti aku bermimpi tentang cowok yang sangat misterius, dan baru kali ini aku bisa melihat wajahnya begitu jelas. Sambil berbaring aku mencoba beristirahat dan akhirnya tertidur.
“Siapa ya nama cowok itu? Dia bilang, Ed. Tapi pasti ada terusannya, Edmun, Edfang, Edi, atau bahkan Edan? Ah, apa sih tandanya?” Batinku saat aku setengah terlelap. Hampir pukul 7 terdengar ada yang mengetuk pintu kamarku, dan aku membukanya.
“Ada tamu buat kamu, Lad.” Siapa? Apa Bella, yang mau membeli kueku? Dengan perasaan penasaran aku menuju ruang tamu, dan aku melihat sesosok lelaki tampan yang sama dengan yang ada dalam mimpi kue pukisku.
“Kamu? Cowok kue pukis kan?” Kataku sambil menunjuk ke arahnya.
“Aku Edgar, teman TK kamu, ingat kan?” Aku pun mengingat-ingat nama Edgar dalam folder TK, dan kutemukan itu.
“Edgar, yang suka ngajak aku main kembang api, dan kue pukis ya?” Edgar mengangguk, dan aku pun memeluk erat dirinya. Sekarang Edgar sangat tampan, dank arena dia aku jadi sangat suka dengan kue pukis.
>>Flash Back
“Lady, kalau kamu bisa buat kue pukis ini aku bakal jadi pacar kamu.” Kata Edgar waktu itu.
“Bener? Tapi sampai kapan aku bisa buat kue ini?”
“Sampai aku datang kembali.” Edgar mencium pipiku, dan itu pertemuan kami di hari imlek yang cerah itu.
>>Back
Saat itu Edgar pindah ke Singapore untuk sekolah, karena orang tuanya di pindahkan bekerja di sana. Sudah hampir 6 tahun aku tidak bertemu Edgar, dan aku sangat merindukannya. Aku sangat bahagia, mungkin sebab kue pukis itu Edgar benar-benar datang.
“Tunggu!” Semua menatapku, dan aku mencubit pipiku sendiri.
“Aduh!” Jeritku kesakitan.
“Ini bukan mimpi Lady.” Edgar mendekatiku dan kembali mencium keningku, pipiku pun merah merona. Mama hanya menatapku tajam, seperti akan ngamuk setelah Edgar pergi. Aku dan Edgar saling bertukar cerita, tak lupa aku bercerita tentang mimpiki yang semuanya adalah Edgar, juga Bella musuhku.
“Eh, aku mau nyoba kue pukis buatan kamu dong.”
“Beli bahannya dulu ya.” Edgar memegang erat tanganku, menuntunku di dalam kegelapan dan menuju sebuah cahaya lampu yang terang.
“Bang, beli ini.” Aku pun memberi daftar belanjaan ke abangnya, selagi menunggu Edgar membeli kembang api yang ada di sebelah kios tempat kami membeli bahan kue pukis. Kilauan lembut kembang api selalu menyejukkan hatiku, baru kali ini aku melihat kembang api bersama Edgar setelah 6 tahun aku menunggunya. Terdengar bisikan memanggilku, dan aku tidak memperdulikan itu dan tetap melihat kilau kembang api yang sangat indah.
“Adek! Woy!” Abang itu ternyata dari tadi memanggilku, dan aku langsung mengambil belanjaan dan memberi sejumlah uang. Setelah itu kami berdua menelusuri jalanan dengan kilau kembang api yang kami pegang.
“Edgar, aku ingin persahabatan kita tidak seperti kembang api ini.”
“Persahabatan? Apa kamu tidak berharap lebih? Aku datang ke sini karena ingin mengatakan isi hatiku, dan menebus janjiku bahwa saat kamu sudah bisa membuat kue pukis maka aku akan jadi pacarmu, mau kan?” Aku mengangguk, dan Edgar bersorak gembira kemudian memelukku, tak pernah ku sangka kue pukis ini membuat aku seberuntung ini bisa memiliki Edgar.

Cinta Terpendam

Dear, Diary.
Hari ini aku jadian sama adik kelasku Mario, aku senang sekali karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Ku harap ini akan berlangsung lama…

“Pagi kakak Aurel!” Sapa pacarku Mario pagi itu.
“Pagi juga adik!” Lalu kami duduk berdua di bangku kantin, ini hari pertama aku menjalani hari dengan status berpacaran dan juga pacar pertama. Hari itu aku tidak henti-hentinya memikirkan Mario pacar pertamaku. Aku merasa sangat bahagia bisa memiliki Mario :D
“Kak, ayo pulang!” Ajak Mario, aku pun menurutinya, kebetulan Mario membawa motor jadi aku diantarnya naik motor. Sebelum pulang dia mengajak aku membeli ice cream, tentu saja aku menerima ajakan itu.
“Kak, mau yang mana?” Aku menunjuk ice cream coklat, lalu Mario membelikannya untukku. Mario asyik menjilati ice cream vanillanya sedangkan aku coklat.

Kami telah menjalani hubungan kami kurang lebih selama 10 bulan. Dan hubungan itu sangat harmonis dan tentram, tapi lama kelamaan aku merasa aneh dengan hubunganku bersama Mario tanpa masalah, sungguh aneh. Sebab semua temanku pasti melewati masa-masa masalah yang rumit, tapi aku? Tetap menjalin hubungan dengan baik. Iseng-iseng aku membaca diaryku lagi, dari kelas 7 SMP telah rajin aku menulis diary.
Dear, Diary.
Hari pertama masuk sekolah aku langsung jatuh cinta pada Farrel, dia memang pujaanku. Kapan ya aku bisa memilikinya?
Aku tersentak kaget, baru ku sadari bahwa dulu aku sempat menyukai Farrel. Tapi, sekarang dia telah pindah ke luar kota, dan meninggalkan aku sendiri. Aku menangis tersedu, sebab rasa cintaku pada Farrel tiba-tiba terasa kembali.
Dear Diary,
Farrel bilang, aku disuruh nunggu dia. Tapi sampai kapan?
Aku kemudian teringat saat Farrel terakhir kali berjanji padaku…
“Jangan pernah kamu hapus aku dari pikiran kamu, jangan pernah ada yang ganti posisi aku. Tolong jaga kepercayaan aku, aku janji aku akan menjemputmu!” Kata-kata itu kembali terngiang di otakku, dan semakin jelas seolah ada di sampingku.
“Kak?” Mario membuyarkan lamunanku, langsung aku menutup diaryku.
“Ah, iya. Pulang yuk!” Kami pun pulang, dan esok aku sudah harus sibuk menyiapkan diri untuk mengikuti lomba KIR tingkat nasional.
“Sukses buat besok!” Mario mencium keningku, ku anggap itu sebagai semangatku.

Pagi itu aku bersiap berangkat dengan persiapan KIR hari ini. Dan aku menuju aula tempat lomba dimulai. Dan saat pertama kali masuk aku dikagetkan oleh sesosok orang yang sangat mirip dengan Farrel, tanpa sadar aku menghampirinya.
“Farrel?” Sapaku, cowok itu menoleh tapi belum sempat aku mendengar jawaban dari cowok itu tapi aku diseret oleh temanku.
“Kamu ngapain sih, Rel? Ini lombanya mau dimulai!” Aku tetap memandang sesosok lelaki yang sangat mirip dengan Farrel, dan aku yakin itu Farrel.
“Baiklah, selamat datang para peserta lomba KIR tingkat Nasional, di meja 1 ada dari provinsi Jakarta, meja …………..” Ternyata itu dari Jakarta, sangat tepat sebab Farrel memang ada di luar kota sekarang, jadi kemungkinan besar itu adalah Farrel.
Lomba pun dimulai, masing-masing peserta yang mewakili provinsinya menampilkan karyanya, dan dari provinsi Jakarta maju paling awal.
“Kami dari provinsi Jakarta, dengan peserta yang bernama Defni Aurina, Faira Kusuma Nisa, Leon Ananda Putra, dan saya sendiri William Bayu.” Ternyata namanya William, berarti dia bukan Farrel. Saat itu juga aku terus memandang William, ia sangat mirip dengan Farrel dan aku sangat ingin memeluknya.
Setelah semua peserta menunjukkan hasil karyanya, juri pun mengumumkan pemenang lomba KIR.
“Setelah menilai sesuai kriteria yang ada maka juri menetapkan juara KIR nasional tahun ini adalah dari provinsi Jawa Barat! Selamat!” Kami pun bersorak bahagia, lalu guru pembimbing kami memberikan kata sambutan sebagai pemenang, dan di akhir acara semua peserta memberi selamat pada pemenang.
“William, apa kita pernah bertemu?” Tanyaku saat William menyalamiku, William hanya menggeleng.
“William, tunggu aku mau bicara!” Aku pun mengejar William dan meninggalkan aula.
“Ada apa, Rel? Dari tadi kamu manggil namaku terus?”
“Apa aku boleh minta nomor ponselmu?”
“Boleh.” Kami pun saling bertukar nomor ponsel, dan setelah mendapatkan nomornya aku langsung kembali ke dalam aula. Lomba KIR pun selesai dilaksanakan, ponselku pun berbunyi dan aku harap itu dari William.
Karel, kamu aku jemput di sekolah ya?
Ternyata pesan dari Mario, aku langsung membalas dan berkata ya. Entah kenapa sejak Farrel kembali walau dalam wujud yang berbeda aku menjadi ingin lepas dari Mario. Saat perjalanan pulang aku menanti pesan dari William atau yang ku anggap Farrel. Karena tidak sabar aku pun mengirim pesan duluan.
Will, sudah sampai rumah?
Hampir satu jam aku menunggu tapi William tak juga membalas pesan dari ku, jujur aku merasa sangat sedih, bahkan sampai aku tiba di sekolah belum ada tanda-tanda pesan dari William.
“Karel, ayo pulang!” Ajak Mario, sebenarnya aku sedikit enggan tapi aku takut menyakiti hati Mario. Selama perjalanan pulang tak seperti biasanya kami hanya terdiam.
“Kok diem sih, Karel? Kamu menang kan? Harusnya kamu cerita gimana tadi waktu kamu tanding.” Mario memulai pembicaraan, aku menatap wajah Mario.
“Rio, kamu dulu kenal Farrel nggak?” Mario menggeleng.
“Dulu, aku…” Aku pun menggantungkan kalimatku.
“Dulu kenapa?” Sedikit lama aku menjawab kembali pertanyaan itu, karena aku tahu jika aku berkata yang sebenarnya maka aku akan menyakiti hati Mario.
“Dulu dia juga ikut KIR, terus tadi kelihatannya dia ikut tapi namanya jadi Wiiliam.” Aku berbohong, aku tidak berani jika harus berkata jujur pada Mario.
“Oh, teman lama. Ku pikir dulu kamu suka.”
“Emang iya Mario, sayang.” Batinku, jujur aku ingin mengatakan yang sebenarnya tapi aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya dia. Kami pun sampai di depan rumahku, aku pun turun dari mobilnya dan berlari menuju rumahku. Sesampainya di dalam aku bergegas menuju kamarku, di sana aku meluapkan segala kepenatanku.
“Gimana ini? Aku harus memastikan apa ini benar Farrel atau cuma orang yang mirip?”
Sore William,
Mengirim pesan ke William dan mendapat pesan darinya adalah keinginanku sekarang.
Apa? Maaf tadi siang nggak aku bales, coz lagi sama temen.
Entah mengapa membaca pesan itu ingin rasanya aku berteriak ‘AKU BAHAGIA!’
William, kamu kenal sama Farrel?
Ehm, siapa ya? Nggak kenal aku.
Oh, ya uda.
Kamu punya pacar?
Nggak, kalo kamu?
Punya.
Kamu suka sama aku?
Wajahmu membuat aku ingat sama cowok yang dulu aku suka.
Jadi?
Aku harap kamu itu dia.
Kalau aku bilang aku ini Farrel?
Aku akan mutusin pacarku dan kembali padamu.
Deal?
Deal.
Tak pernah ku sangka, masalah serumit ini bisa sangat mudah untuk diselesaikan, tapi kalau aku minta putus dari Mario, apa aku tega? Dan apa mungkin itu Farrel?
“Halo? Wiiliam?” Sapaku saat ponselku berbunyi.
“Rel, aku adalah Farrel cowok yang dulu kamu suka. Dan sekarang kita bertemu lagi.”
“Ini benar-benar Farrel?”
“Iya, aku jamin itu. Sekarang kita bertemu di aula tempat kita tanding dan putusin Mario di hadapanku!” Sekarang, apa harus sekarang? Dan apakah aku sanggup jika putus dari Mario?
Aku pun mengirim pesan pada Mario, menyuruhnya menjemputku dan mengantarkanku ke aula tempat aku lomba KIR, walau jauh tapi tak apa lah.
“Ada apa, kak? Apa ada yang ketinggalan di sana?”
“Iya, kamu mau kan mengantarkanku?”
“Dengan senang hati,” Senyuman itu, senyuman yang aku rindukan dari Farrel ada dalam diri Mario, apa maksud dari ini?
“Kak, ayo naik.” Mario membuyarkan lamunanku, dan aku masuk ke dalam mobilnya. Dalam perjalanan aku terus menatap wajahnya, entah baru kali ini aku merasakan ada Farrel di dalam diri Mario.
“Karel, kenapa menatap aku begitu?”
“Kamu, senyuman kamu, sikap kamu, mirip Farrel. Cowok yang aku cinta.” Seketika Mario menghentikan mobilnya, lalu ia menatapku.
“Maksud kamu Karel?”
“Lupakan Mario,”
“Kakak bohong, kakak bilang aku yang pertama, ternyata semua perubahan kakak karena Farrel? Kakak diam, angkuh, sering melamun, itu karena Farrel!” Mario membentakku, ia seperti dalam api yang menyala-nyala, dan sekarang setelah melihat sikapnya apa aku tega memutuskan dia hanya karena Farrel yang tak pernah berkorban untukku?
“Mario, maafkan kakak. Sekarang kamu mau kan menemani kakak ke aula, untuk menemui Farrel?”
“Masih bisa kakak bilang begitu? Setelah kakak tahu betapa sakitnya hatiku saat ternyata di dalam hati kakak ada cinta yang jauh lebih besar daripada aku? Kakak tidak punya perasaan!” Petir menyambar, hujan perlahan turun, sementara kami masih berdiam diri. Aku pun keluar dari mobil, berjalan menuju jalan raya dan menyebrangi jalan yang licin.
“Mario! Aku sayang kamu! Biar hujan ini jadi saksi bahwa kita saling mencintai, dan biarkan aku menangis di dalam hujan ini.” Terlihat Mario menoleh ke arahku, dan dia pun ikut keluar dari mobil.
“Karel! Aku sangat mencintaimu, dan aku akan mencoba membuatmu melupakan Farrel untuk selama-lamanya!” Mario pun perlahan berlari ke arahku,
“Mario, awas!”

“Karel, karel, kamu di mana?”
“Aku di sini Mario.” Aku pun membelai lembut rambut Mario.
“Kak, apa aku ada di rumah sakit?”
“Iya,”
“Farrel, gimana?” Tak ku kira disaat ia terbaring lemah ia masih ingat tentang perkataanku tadi, padahal aku tahu kata itu sangat berat diucapkan oleh Mario.
“Kamu nggak usah mikirin itu, sekarang kamu harus sembuh dan kembali sekolah.” Aku pun menggenggam erat tangan Mario, dan aku menangis perlahan.
“Kenapa nangis, kak?” Mario menegakkan kepalaku.
“Aku sadar, bahwa cuma kamu yang tulus mencintaiku dan selalu ada di segala situasi. Dan kamulah Farrel yang aku cari selama ini.”
“Maksud kakak?”
“Setelah aku piker, ku kira William bukankah Farrel, mereka hanya sebatas mirip. Dan melihat senyuman itu aku baru sadar kalau kamulah Farrel yang selama ini aku tunggu.” Aku pun menangis tersedu-sedu, sementara Mario berusaha menenangkanku.
“Orang mirip wajah memang banyak, tapi yang mirip hatinya jarang ada.”
“Dan orang itu kamu Mario.” Aku memeluk Mario erat, dan itulah pelukan terakhir yang kuberikan pada Mario.

Dear, Diary.
Akan ku ingat semua kenangan indah itu,Farrel dan Mario akan selalu bersemi di hatiku, walau kini aku hanya bisa melihat jazadnya terkubur tanah merah yang senantiasa ku hiasi dengan bunga, dan tak lupa ku panjatkan do’a….

Perputaran Roda Dunia

“Syafa, kamu sadar dong. Liat tuh orang tuamu, sampai pusing ngurusin kelakuanmu!” nasehat Karla sepupunya Syafa. Syafa memang gadis yang nakal, dan tak tahu dengan aturan, sehingga orang tuanya kerap jatuh sakit karena kelakuan anaknya itu. Sebenarnya dulu Syafa adalah anak yang penurut dan taat agama, tapi sikapnya berubah drastis saat orang tuanya mendadak bangkrut. Entah depresi, atau alasan sebagainya tapi sekarang Syafa sangat gila dengan harta, bahkan ia hampir menjual dirinya demi uang.
“Eh, Karla! Lo tuh siapa? Seenaknya aja ngatur hidup gue!” Syafa mendorong tubuh Karla keras-keras, tentu saja Karla langsung jatuh. Tak heran Syafa begitu kasar pada Karla, bahkan orang tuanya saja sering dimaki-maki olehnya.
“Syafa, aku tahu kamu pasti malu karena sekarang kamu menjadi miskin, iya kan? Tapi kamu tidak perlu menjual diri seperti itu, untung kamu tidak sampai melakukannya jika sampai kamu melakukan itu azab Allah sangatlah pedih.” tak henti-hentinya Karla menasehati sepupunya itu, walau itu tak berhasil menyadarkan Syafa.
“Ceramah aja terus, La. Aku tahu kok kamu anaknya Haji. Tapi jangan sombong kamu! Mentang-mentang anaknya Haji kamu bisa ngatur hidup orang!” kemarahan Syafa sepertinya sudah mebludak, bahkan sebuah tangan hampir mendarat di pipi Karla tapi tercengah.
“Jangan sakiti dia, dia nggak salah, yang salah itu kamu!” Syafa hanya terdiam, melihat lelaki pujaannya membela Karla. Aldo pun membawa Karla pergi jauh-jauh dari rumah Syafa, dan meninggalkan Syafa sendirian.
“Kenapa semua yang aku inginan harus pergi? Pertama kekayaanku, lalu kak Aldo, ini semua gara-gara Karla!” marah Syafa sendirian, sekarang ia tinggal sendiri di rumah sebab orang tuanya pergi ke desa untuk memperbaiki perekonomian keluarga mereka.
Kehidupan Syafa benar-benar berubah, mulai dari penampilan sampai batin. Dulu saat kehidupan Syafa masih terjamin oleh kemewahan, ia rajin salat dan menjalankan segala kewajibannya, tapi sekarang ia telah lupa dengan Allah. Pikiran Syafa yang ada sekarang hanya uang, uang, dan uang, padahal dulu ia tidak begitu mementingkan uang. Faktor lain adalah Aldo lelaki yang dicintainya malah jatuh cinta pada Karla sepupunya sendiri, dan itu membuat pikiran Syafa menjadi tambah kacau.

Pagi itu pintu rumah Syafa diketuk oleh seseorang, langsung ia membukanya. Ternyata ada seorang ustadz yang datang ke rumahnya, yang tak lain pamannya sendiri. Syafa menyambutnya dengan terpaksa.
“Syafa, tahukah kamu sejarah tentang keluarga paman?” Syafa menggeleng.
“Dulu, keluarga paman sangatlah miskin, bahkan sepeda saja tidak punya, ke sekolah jalan kaki, tidak pakai uang jajan, tapi kami tidak pernah diledek oleh teman sendiri sebab kami punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh siapapun. Kamu tahu itu apa? Keimanan dan kecerdasan.” Syafa hanya bisa menunduk lesu, kemudian Syafa mulai bicara.
“Bohong! Dari kecil keluarga paman dan ayah sudah hidup mewah kan?”
“Siapa bilang, Syafa? Kamu belum lahir saat itu, yang kamu tahu saat kamu lahir kehidupan kamu penuh dengan kebahagiaan. Pertama paman bangga padamu, kamu itu nyaris sempurna dulu, kamu pintar, shaleha, banyak orang yang sayang sama kamu, bahkan Aldo dulu mengagumi kamu. Tapi semenjak perubahanmu, semuanya menghilang.” mendengar hal itu Syafa tidak menyangka, bahwa dulu ia sangat dikagumi dan memiliki banyak kelebihan, tapi sekarang semua itu hanya kenangan.
“Jika kamu ingin semua itu kembali, mintalah itu pada Allah, berdoa padanya, mohon ampunan, pasti Allah rindu akan untaian ayat Al-Quran dan doa yang engkau panjatkan. Assalamualaikum.” pamannya pun meninggalkan Syafa, ia terus menangis dan meratapi nasibnya saat ini.
“Pokoknya aku harus kembali ke jalan yang benar, aku rindu pada Allah Yang Maha Adil dan Al-Quran yang penuh dengan pengetahuan. Sungguh aku bersyukur telah dibukakan pintu hidayah oleh Allah. Subhanallah.” bergegas Syafa mengambil wudhu dan melaksanakan salah dhuha, sangat khusyuk ia mengerjakan salatnya, tak lupa setelah ia salat ia panjatkan doa lalu membaca ayat suci Al-Quran.
“Ya Allah, begitu Agungnya dirimu, semua takdir telah engkau tuliskan. Dan hamba sangat bersyukur engkau telah membuka pintu hidayah bagi hamba. Hamba mohon ampunan, maafkanlah segala kesalahan hamba yang selama ini sudah hamba lakukan.” pintanya pada Allah, sembari memanjatkan doa air mata mengalir perlahan mengiringi setiap ucapan di bibirnya.
“Allah (Pemberi) Cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas Cahaya (berlapis-lapis), Allah Membimbing kepada Cahaya-Nya siapa yang Dia Kehendaki, dan Allah Memperbuat Perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ucap Syafa membaca arti QS An-Nur: 35.
Mulai saat itu Syafa telah menjadi wanita muslimah, dan sekarang perekonomian keluarganya mulai membaik. Roda dunia terus berputar, tak ada yang tahu kapan ada di bawah dan kapan di atas, tapi yang terpenting adalah bagaimana sikap kita menghadapi semua itu, dan keimanan itu harus tetap terjaga.

Sunday, December 5, 2010

Kenyataan Pahit

“Ayo mama sama Kaila berdiri di sana ya! Nanti papa timer. Siap?” Kata papa sembari meletakkan kameranya lalu menekan tombol timer kemudian berlari menuju tempat aku dan mama berdiri. ‘Tik tik tik’ suara timer kamera membuat kami siaga memasang gigi putih kami :D
‘Cekrik!’ Penantian selama 10 detik telah berakhir, kami pun berlari menuju kamera dan berebut ingin melihat hasilnya. Hari itu memang kami sedang berlibur ke Puncak, dalam rangka merayakan tahun baru. Sehari penuh kami berada di puncak, sungguh menyenangkan sekali bisa sehari penuh dengan orang tuaku. Sungguh hari yang terindah bagiku, baru kali ini aku merayakan tahun baru seseru ini.
“Kaila, kamu senang kan kita liburan seperti ini?” Tanya papa padaku.
“Iya pa, coba setiap bulan kita begini pasti Kaila jadi anak paling beruntung di dunia.” Ucapku bangga, kemudian kami berjalan menuju villa tempat kami menginap hari itu. Malamnya di belakang pekarangan villa, kami asyik memanggang kalau bahasa kerennya sih barbeque. Aku paling suka kalau makan, tapi yang memanggang pastinya mama, tapi kelihatannya asyik juga memanggang, aku pun ikut memanggang bersama mama dan papa.
“Mari makan!” Kata papaku memulai acara makan-makannya, kami sangat menikmati malam itu sampai tengah malam kami masih bercanda tawa. Sampai sekitar pukul satu malam kami menyudahi acara makan-makan lalu bergegas menuju pulau kapuk. Lalu sekitar pukul empat kami berangkat menuju Jakarta. Selama perjalanan aku tetap terlelap, sebab aku tidak biasa tidur lebih dari jam Sembilan jadi aku masih sangat mengantuk.
“Pa, bagaimana rencana perceraian kita?”
“Sudah aku urus, kalau kamu memang maunya begitu baiklah, besok kita bercerai.” Samar-samar ku dengar kata itu dari mulut papa dan mamaku, pertama aku tidak menghiraukan itu sebab aku pun dalam keadaan tak sadar. Saat aku terbangun ternyata aku sudah sampai di rumahku, dan aku sempoyongan berjalan menuju kamarku.
“Kamu masih ngantuk ya Kai?” Tanya mama sembari mengelus rambutku lembut.
“Iya ma, ma aku mau tanya.”
“Apa?”
“Nggak jadi deh,” Aku pun berbaring di kasurku yang empuk lalu terlelap. Dalam mimpiku terlihat mama dan papa bertengkar dan sering mengatakan kata ‘cerai’ dan aku terbangun. Saat aku terbangun aku melihat pintu kamarku tertutup, niatku sebenarnya ingin keluar dari kamar tapi langkahku terhenti di ambang pintu.
“Bagaimana kalau sore ini kita bercerai?” Terdengar suara mama.
“Tapi Kaila belum memilih nanti mau tinggal dengan siapa, kan? Jangan egois Farah!”
“Tapi kalau bukan gara-gara kamu nggak akan jadi begini!”
“Kamu tuh selalu menghabiskan uang untuk hal yang tidak penting!” Orang tua Kaila terlihat sedang bertengkar , sementara Kaila menangis di belakang pintu kamarnya.
“Apa maksud papa dan mama bercerai?” Kailapun menampakkan dirinya, orang tuanya pun merasa kaget.
“Kaila, kamu memang harus segera tahu.” Mama Kailapun mulai menjelaskan rencana perceraian mereka.
“Dan sekarang kamu harus memilih, kelak kamu ingin tinggal bersama mama atau papa.”
“Kaila nggak mau! Pokoknya mama dan papa nggak boleh bercerai!”
“Tapi, sayang?” Kailapun pergi mengambil sepedanya lalu bergegas pergi.
Mama dan papa jahat, apa sih enaknya cerai? Batin Kaila saat ia sedang mengayuh sepedanya. Ternyata Kaila menuju rumah sahabatnya Aurel, ia memang sering curhat atau minta solusi dari Aurel. Sesampainya di depan rumah Aurel, ia pun menekan bel, tak lama Aurel pun datang.
“Kaila? Ada apa ke sini?” Kailapun masuk ke rumah Aurel, dan memulai acara sharingnya.
“Orang tuaku akan bercerai, Rel. Dan katanya nanti sore mereka akan bercerai.” Sedikit demi sedikit air mata Kaila mulai membasahi pipinya.
“Apa tidak bisa dibatalkan saja?”
“Kelihatannya keputusan mereka itu sudah bulat, kamu tahu kan pembicaraan kita kita orang tua? Pastilah apa yang ada dipikiran mereka itu sudah pasti akan terlaksana.”
“Kalau pun terjadi, kamu harus tabah. Dan jika kamu disuruh memilih antara mama dan papa mu. Apa yang pilih?”
“Aku, aku, aku tak bisa memilih antara mereka berdua, Rel. Kamu tahu kan betapa cintanya aku terhadap mama dan papa ku?”
“Kalau begitu kamu buat saja jadwal tinggal. Jadi bisa saja selama 1 minggu kamu tinggal bersama mama, dan minggu berikutnya papa, lalu mama, begitu seterusnya.”
“Mungkin kamu ada benarnya,”
“Satu lagi yang terpenting, jangan pikirkan hal ini, anggap hal ini tidak pernah terjadi. Jangan sampai kamu depresi ya…” Kaila pun memeluk erat sahabatnya itu, dan ia pun pamit pulang.
“Doakan yang terbaik untuk keluargaku ya?”
“Pasti.” Kailapun kembali mengayuh sepedanya dan bergegas menuju rumahnya dengan perasaab hati yang tak karuan.
Sesampainya ia di rumah, orang tua Kaila terlihat sangat rapi, kelihatannya segera akan berangkat ke pengadilan. Kaila pun perlahan menuju ke arah mamanya dan memeluknya erat.
“Ma, apa mama mau ke pengadilan?”
“Iya sayang, sekarang kami menunggu jawaban kamu.”
“Mama, aku pilih mama. Tapi juga papa, jadi bolehkan aku tinggalnya kadang di rumah mama kadang di rumah papa.” Orang tuanya hanya melongo, tapi mereka pun mengangguk. Mereka pun menuju pengadilan walau Kaila tidak ikut, jadi ia terus menangis dan terkadang berteriak keras. Pelampiasan sebelum perpisahan itulah yang Kaila rasakan saat ini, tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa orang tuanya akan bercerai, dan itu adalah mimpi buruk baginya. Setelah menunggu sekitar sati jam lebih orang tuanya pun datang dan membawa bawaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
“Sekarang kamu mau tinggal di rumah siapa dulu? Mama atau papa?”
“Mama.” Kaila pun menjalani harinya seperti biasa, walau kadang ia merasa ada yang berkurang tapi semua itu akan ia terima dengan lapang dada.

Setelah KOS Mabi Kwarcab







Setelah mengikuti kegiatan ini sebagian temanku yaitu Alin, Husnul, dan Shinta berkunjung ke rumahku. Dan kami berfoto ria :) Ini belum semuanya, sisanya lihat di fb saya di album 'with friends'

KOS Mabi Kwarcab 11 12

Rencananya saat acara berlangsung akan hadir bapak bupati, tapi beliau saat itu tidak datang :(
KOS Mabi Kwarcab ini adalah Kegiatan Orientasi Sikat yang sebenarnya ditujukan pada bupati dan wakilnya, melihat mereka baru dilantik dan harus mendapat latihan singkat tentang kepramukaan agar kelak jika beliau diminta menjadi pembina atau turut ambil bagian dalam kegiatan kepramukaan, beliau akan siap.
Acaranya diisi oleh siswa pilihan, yang pada saat itu adalah siswa dari sekolahku. Pertama permainan *lupanamanya* pokoknya setiap anggota regu membawa sendok sambil berjalan ke arah kardus yang berisi bola plastik, lalu membawa bola itu dengan sendok dan harus tetap melewati tali yang sudah disediakan.
Kedua Light Star, pada permainan ini 5 anggota regu memegang masing-masing 1 tali, lalu bersama mencoba merangkai tali itu menjadi bentuk bintang, dan regu kami sakura berhasil melewati misi ini.
Selanjutnya permainan *lupanamanya* permainannya begini, 8 anggota regu memegang seutas tali nah tali itu berbentuk seperti jaring di tengah jaring itu ada seperti pengait, dan misi kita memindahkan botol aqua dengan cara mengaitkannya ke pengatin di tali. Pertamanya mengambil perlahan dan mencoba sebisa mungkin membuat agar pengait dapat menyangkut kuat di botol, jumlah pengaitnya ada 4 tapi kami hanya bisa mengaitkan 3 pengait di botol. Perlahan kami berdiri dan menuju tempat botol akan di pindahkan, kami sangat tegang sebab di tengah perjalanan pengait satu per satu lepas dan akhirnya tinggal 1 yang dapat mengait. Dan berhasil! Kami bisa meletakkan botol itu pada tepat di tengah lingkaran. Tepuk BISA *** B *** I *** S *** A *** BISA *** BISA *** BI....SA!
Selanjutnya 'birthday line' di sini kami di harus kan mengurutkan posisi sesuai tanggal lahir/tahun/bulan, dan kita tak boleh asal berpindah, melainkan kita harus berpindah dengan cara kaki tetap menginjak tali yang sebelumnya kita injak pula, jadi kita harus pandai-pandai berpegangan tangan agar tidak jatuh.
Yang terakhir bagi kami adalah 'mouse hunter' sebuah pipa kita masukkan sebuah bola yang kita anggap itu tikus, lalu di bawah lubang pipa ada anggota lain yang memukul tikus tersebut. Permainan ini sangat susah, dan kami hanya berhasil memukul 1 tikus.
Sebenarnya ada 3 permainan lagi, tapi waktu telah habis. Kemudian kami dikumpulkan, di sana kami disuruh membuka bekal yang tadi diberikan sebelum permainan isinya ada telur, kertas, tali rafia, lakban, dan plastik yang membungkus semua itu. Kemudian kami disuruh untuk membuat bagaimana caranya agar telur itu jika dilemparkan tidak pecah. Kami pun berusaha membuat sedemikian rupa. Alhasil setelah dilempar, telur kami pecah.

Lelah yang kami rasakan setelah bermain, dan kami diberi makan, setelah itu kami pulang.

Ngomong-ngomong kalian tahu tidak bagaimana caranya membuat agar telur itu tidak pecah?