Wednesday, December 31, 2014

Menulis, Untuk Apa?

Ada banyak sekali jenis blogger. Sekadar menuangkan pikiran. Menjadikannya buku harian terbuka. Menyalurkan bakat. Membuat buku digital. Menyebarkan ilmu. Menghibur. Bahkan menghasilkan uang. Semua sama. Mereka menulis. Pilihan mereka. Memilih jenis apa yang mereka suguhkan pada para pembaca. Dan sekarang. Di kala pergantian masehi. Aku bertanya. Untuk apa aku menulis? Seberapa penting. Pencapaian apa yang ingin aku raih. Masih samar. Belum mantap untuk dikatakan.

Namun, ada satu hal yang masih ku ingat. Petuah penulis terkenal. Lewat tulisannya yang mampu menyeretku. Menyeret jutaan pembaca lain dalam fantasi. Kini aku tuliskan dengan gayaku. Menulis. Tak perlu bertatap muka. Pesan ini tersampaikan. Tak perlu melawak depan muka. Gelak itu membahana. Tak perlu irisan bawang. Air mata meluncur sendirinya. Semua bisa dilakukan. Oleh sebuah tulisan. Sederhana. Magis.

Halo, lembar semu. Aku masih mencari. Jenis mana tulisanku ini. Untuk saat ini, aku nyaman menulis begini. Sampai bertemu lagi ^^

Hai



Hai, lembar semu. Lama tak berjumpa. Maaf. Belakangan aku benar-benar menjadi orang yang merugi. Yang mengalami kemunduran dalam hidup. Kau tahu? Aku merasa. Sangat terasa. Bahwa sekarang ada dinding besar. Yang sangat ingin kudobrak. Yang entah aku sanggup atau tidak untuk meruntuhkannya. Setiap ingin memulai, aku kehilangan. Setiap bersiap memukul palu, aku mundur. Tidak ada kemajuan. Berjalan di tempat. Beberapa aku benar-benar mundur. Aku cukup lelah. Sangat lelah. Kali ini aku benar-benar merugi. Dulu, hati kecil ini senantiasa berjalan di atas setapak. Sekarang, dia entah ke mana. Aku hanya sayup-sayup mendengar suaranya.

Hei, ini rumit. Aku bahkan tak cukup nyali. Kali ini banyak jaring mengukungku. Dan pisau yang kupegang. Tumpul. Tak cukup tajam untuk melepas jaring-jaring ini. Aku tak berdaya. Entah ke mana kunang-kunang kecil itu. Dia perlahan meredupkan terangnya. Lantas benar-benar gelap. Aku tak berdaya di kala senja pamit diri. Hanya mampu meraba dinding itu. Bergumam tentang esok. Akan kudobrak sedikit. Begitu pikirku. Namun semua tak sejalan. Sendiri. Ternyata aku tak cukup mampu. Membuat lubang kecil. Barang sesenti. Untuk jadi kesempatan. Barang kali kusebut celah. Mendobrak. Ah, lebih tepat ku bilang melewati. Aku ingin melewati dinding ini. 

Entah berapa lama lagi aku bertahan di balik dinding ini. Naif. Dulu aku pikir mudah melewati dinding ini. Secara teori memang mudah. Kau cukup melakukan rutinitas. Berulang. Setiap hari. Dengan tekun. Memukul dinding. Mengikis sedikit demi sedikit. Dalam waktu. Hmm, selama aku termenung di baliknya. Pasti mampu membawaku ke depan. Namun aku tak cukup sadar. Bahwa waktu berputar begitu cepat. Bahwa kadang matahari tak berpihak. Dia melintas di kepalaku berkali-kali. Tanpa kusadari. Sekarang aku telah benar-benar merugi.

Lantas, apa yang akan aku lakukan? Dedaunan bertuliskan kebaikan. Angin berdesir membawa kesejukan. Tanah lembab pengingat keberadaan. Itu semua hanya melintas. Menggugahku. Lantas kubiarkan mereka lewat begitu saja. Maaf. Aku tak acuhkanmu. Aku. Aku. Aku benar-benar merugi. Kau tahu. Aku ingin merubahnya. Aku ingin melakukan satu-satunya jalan. Mengikis dinding ini. Sedikit demi sedikit. Aku akan berhenti berpikir bagaimana indahnya dunia di balik beton-beton kuat ini. Yang akan aku lakukan cukup mengikis. Setiap hari memukul bidang ini. Tanpa perlu merasa lelah. Sebab yang pasti. Kikisan ini. Ah, kikisan itu nanti. Tidak akan sia-sia. Ya, semoga.

Wahai lembar semu. Bantu aku. Karena kini aku punya sahabat baru. Karena aku tahu kau selalu menungguku. Hai, kita bertemu kembali.