Sepulang kuliah siang ini aku
kembali menjaga ibu yang sedang di rawat di rumah sakit. Beberapa hari terakhir
kondisi ibu mulai menurun akibat diabetes yang dideritanya. Ini juga karena
ibuku yang bandel makan durian yang mengakibatkan badannya menggigil dan gula
darahnya naik. Aku menunggu dengan setia Trans Musi di Halte Bukit, berharap
busway itu cepat datang, ingin segera menyuapi snack sore ibu. Sembari menunggu
aku mengedarkan pandangan, melihat banyak orang berlalu lalang menggunakan
kendaraan, saling salip untuk segera menuju ke tempat tujuan masing-masing. Ada
juga orang-orang yang memilih berjalan kaki, hati-hati menyebrang kemudian ikut
masuk ke dalam halte. Menunggu busway sepertiku. Orang ini lagi. Aku tersenyum
saat pandangan kami beradu. Tiga hari terahir kami saling melempar senyum.
“Hari ini hari terakhir ayah kakak
dirawat, kan?” Ucapku memastikan. Hebat, ini pertama kalinya aku memulai
percakapan! Pembahasan kami selama bertemu, saling menanyakan kabar orang yang
kami jaga, kadang juga hal lain. Sekilas terlihat akrab, padahal namapun kami
tak saling tahu. Dia yang selalu memulai percakapan (kecuali tadi), tapi ya
seputar ibu saja, tentang aku tidak pernah ia tanyakan sama sekali. Kadang aku
cemburu ibu malah lebih banyak dapat perhatiannya. Tunggu, cemburu? Apa ini
bisa dikategorikan cemburu?
Dia mengangguk menanggapi
pertanyaanku tadi, kemudian arah pandangnya menuju busway yang mulai mendekati
halte. Busway kali ini penuh penumpang, hanya bisa memuat empat orang, dan dia
mengalah mempersilahkan yang lain untuk naik lebih dulu. Termasuk aku. Pintu
busway mulai menutup, ia duduk di kursi halte menatap arah kedatangan busway,
tanpa mencoba menatap ke arahku. Padahal hari ini terakhir kami bertemu.
Ayahnya sudah diperbolehkan pulang dan bisa rawat jalan, dia pasti tidak akan
kembali menunggu busway di Halte Bukit. Pintu sudah tertutup sempurna dan
bodohnya aku melupakan apa yang ingin aku tanya dan katakan padanya dihari
terakhir ini. Bagaimana kelanjutan selain itu? Dan aku juga ingin ke Gunung
Dempo!
“Kenapa? Kehilangan pria buswaymu
itu?” Goda ibuku saat aku menyuapi kue jatah snack sore.
“Ah, ibu. Sudah nanti aku malah
kepikiran terus,” aku berkilah mengambilkan air minum untuk ibu. Menahan
sebentar pertanyaan-pertanyaan seputar pria busway itu. Saat aku menceritakan
ketertarikanku pada dia, ibu hanya terkekeh. Heran anak zaman sekarang begitu
mudah jatuh cinta. Padahal hanya bertemu tiga hari. Durasi pertemuan hanya
selama jarak tempuh busway dari Halte Bukit sampai Halte Rumah Sakit Siti Khadijah.
Yang diperbincangkan malah orang tua. Tak saling mengenal identitas jelas
masing-masing. Aneh.
Aku telah masuk ke dalam busway.
Pintu sudah hampir tertutup. Namun seorang pria langsung masuk dengan langkah
lebarnya sepersekian detik sebelum pintu busway tertutup rapat. Dia menempelkan
kartu buswaynya sampai mesin berbunyi ‘terima kasih’. Ia mengedarkan pandangan
mencari tempat kosong, sayangnya tak ada tempat lagi untuknya. Aku dapat
kehormatan menduduki kursi terakhir yang kosong. Dia berdiri dengan tangan
kanan menggantung berpegangan. Tubuhnya tinggi hampir setinggi atap busway.
Dengan setelan kaos, jeans, serta sepatu converse membuatnya terlihat seperti
mahasiswa lainnya di kampusku. Tapi entah apa yang membuatku terus menatapnya
selama perjalanan. Saat mulai dekat halte pemberhentian aku berdiri. Berdiri di
dekatnya. Sekilas dia menoleh, pandangan kami beradu. Aku menundukkan kepala
seraya menunjuk kursiku tadi.
“Oh, nggak apa-apa mbak,” ucapnya
polos.
“Sebentar lagi saya turun kok,” dia
tersenyum lalu duduk di kursiku tadi.
“Terima kasih,” lanjutnya saat dia
telah duduk sempurna dengan intonasi suara seperti mesin taping kartu busway.
Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
Esoknya kami bertemu lagi. Kali ini dia
tidak datang saat busway akan meninggalkan halte. Justru ia menunggu lebih dulu
di halte. Saat aku memasuki halte dia menatapku kemudian tersenyum. Sadar bahwa
kami dipertemukan kembali.
“Mau turun di Khadijah lagi, mbak?”
Tanyanya padaku sembari menunggu busway datang.
“Iya, ibu saya dirawat di sana.”
Jelasku singkat.
“Wah sama. Tapi ayah saya di rawat
di Rumah Sakit Umum. Darah tingginya kumat.” Mulai darisitu perbincangan kami
mulai melebar. Seputar ibuku dan ayahnya. Bercerita bagaimana darah tinggi
ayahnya kambuh akibat menahan amarah pada anak muridnya yang bandel. Ayahnya
yang sebenarnya pemaaf namun memendam banyak masalah. Terlalu banyak pikiran.
Dia sampai capai membujuk ayahnya untuk sedikit membagi cerita tapi beliau
enggan. Takut membebani keluarga, katanya.
Sebaliknya aku juga mulai bercerita
tentang ibu. Bagaimana ibu bisa masuk rumah sakit. Seperti yang kuceritakan
diawal. Kemudian saat aku mulai menikmati perbincangan kami busway yang kami
tunggu (bahkan aku lupa sedang menunggu busway) telah datang. Untungnya kali
ini busway lebih lengang, bahkan aku dan dia bisa duduk bersebelahan
melanjutkan perbincangan kami yang tertunda. Dia menanyakan ruang rawat inap
ibu, ingin menjenguk ibuku. Aku juga demikian. Menanyakan ruang rawat inap
ayahnya, ingin menjenguk beliau juga. Esok hari saat aku akan berkunjung
sebentar sebelum menjenguk ibu, dia malah melarangku.
“Besok ayahku sudah pulang kok,
tidak usah dijenguk hehe.” Aku menunduk lesu.
“Sebagai gantinya aku ingin
bercerita.” Mendengarnya aku langsung memandang ke arahnya.
“Salah satu tempat indah di
Palembang, mungkin kamu sudah pernah dengar. Tapi aku tidak pernah bisa
berhenti mengucap syukur pernah berada di sana. Gunung Dempo. Memang tak
sehebat Bromo atau Mahameru, tapi kebanggaan tersendiri kota kelahiranku masih
punya satu. Jalan memang memakan waktu, tapi di awal kita disuguhkan hamparan
kebun teh ditambah petani teh bercaping yang memikul keranjang untuk memetik
daun teh. Waktu itu aku sempat membantu petani setempat, pengalaman yang seru.
Mendaki trek yang memang tak begitu sulit, tapi bersama para sahabat aku
menikmati lukisan hijau di bawah gunung, itu jadi momen indah tersendiri. Udara
yang menusuk tulang membuatku ingin segera mencapai puncak, menyalakan api
unggun, menghangatkan diri, kemudian menikmati kembang api dari atas sana.
Sayang bagian terakhir belum tercapai, kami harus segera turun karena salah
satu teman kami asmanya kambuh akibat terlalu lelah. Mau tak mau kami harus
mengantarnya pulang. Selain itu,” ceritanya terhenti. Aku sudah sampai di Halte
Khadijah, padahal aku ingin mendengar kelanjutan dari selain itu. Esokpun
ternyata aku tak punya kesempatan lagi.
“Sangat ingin ke sana?” Tanya ibuku
usai kuceritakan dia yang memamerkan sedikit kendahan Gunung Dempo. Aku
mengangguk pelan.
“Ingin ke sana atau ingin bertemu
pria itu?” Aku tertegun, tak menyangka ibuku malah punya pikiran lain.
“Mustahil ibu bertemunya lagi, hari
ini ayahnya sudah pulang. Tak mungkin bertemu, kami kan tidak pernah janjian
untuk ke sana bersama.” Ibu tersenyum mendengar teoriku.
“Apa kalian janjian untuk bertemu di
halte busway?” Aku terdiam. Ibu benar.
“Kalau Tuhan memang berkehendak
mempertemukan kalian di halte busway, bukan hal yang mustahil untuk
mempertemukan kalian di tempat lain. Besok, lusa, atau kapanpun Tuhan ingin.”
Ibu mengusap tanganku lembut. Mengalirkan keyakinan yang tersirat dalam
kehangatan usapannya. Ibu yang paling mengerti aku.
“Sekalipun kalian cuma bertemu tiga
hari di halte, bisa jadi kalian akan bertemu setiap hari di rumah kalian
nanti,” ibu kembali menggodaku. Aku tahu maksud ucapan ibu. Kelak aku akan
menikah dengannya, dan kami akan setiap hari bertemu. Semoga saja begitu.
Genap seminggu ibuku sudah
diperbolehkan pulang. Dengan syarat menjaga pola makanan dan menghindari
makanan manis. Tentunya aku membantu ibu membuat jadwal makan dan ikut
mengontrol agar asupan gizi yang ibu konsumsi pas. Kondisi ibu mulai membaik,
sudah kuat berjalan sendiri walau pelan. Ini juga kehendakmu Tuhan, mengizinkan
aku merawat ibuku. Merasakan sedikit yang ibu lakukan padaku saat aku sakit
dulu waktu kecil.
“Ibu sudah bisa sendiri, ibu juga
ingat takaran makan. Sudah cepat berangkat kuliah, jangan sampai bolos mata
kuliah.” Aku pamit pada ibu, menuju halte busway terdekat dari rumahku. Halte
busway lagi. Aku selalu teringat sosok singkat itu. Sebentar namun begitu
melekat dalam benakku. Setiap hari aku selalu berharap bertemu dengannya di
halte atau di dalam busway. Sayang, Tuhan tidak menyusun naskah itu. Aku harus
menunggu adegan lain, dengan dia, atau bahkan dengan pria yang lain.
“Jodoh tak kemana, berdoa pada Tuhan
untuk memberikanmu yang terbaik. Dia bisa jadi salah satu kandidatmu, atau yang
lain. Jangan terlalu dipikirkan.” Aku kembali terngiang nasihat ibu. Aku tak
seharusnya terus memikirkan dia. Tuhan sudah mempersiapkan satu untukku. Entah
dia siapa. Berapa jaraknya dariku. Bagaimana kami bertemu. Tenang Reika, semua
akan baik-baik saja.
Kegiatan kuliah akhir-akhir ini
membuatku sibuk setengah mati. Tugas yang menyita waktu. Dengan deadline yang
berdekatan sukses menyingkirkan pikiranku tentang dia. Akhir-akhir ini aku juga
menumpang pulang-pergi kampus dengan teman sejurusanku. Bersama Luika, Ima, dan
Rere yang merupakan teman satu komplek, kami menumpang mobil Fiona. Ini
mendukung keinginan pemilik mobil untuk mengurangi polusi. Sebenarnya ini juga
yang membuatku lebih menghemat ongkos dan tidak terlalu sering memikirkan dia,
karena tak bertemu dengan halte atau busway lagi.
Disamping berhasil mengalihkan
pikiranku, aku juga berhasil mendapat teman-teman yang baik. Siapa lagi kalau
bukan ‘Go Go Car’. Genk yang isinya cewek-cewek penghuni setia mobilnya Fiona.
Kami sering bertukar cerita selama perjalanan menuju atau pulang kampus. Mulai
dari mata kuliah sampai masalah pribadi. Suasana mobil tak pernah ada matinya. Fiona,
cewek pemberani yang punya aura kepemimpinan, selalu menengahi saat kami saling
kata. Ima, cewek cerewet yang suka mengkritik salah satu tingkah kami yang
dinilainya salah. Rere, cewek polos yang apa adanya, dia suka mengungkapkan apa
saja yang ada dipikirannya tanpa berpikir panjang. Luika, cewek humoris yang
selalu melempar candaan saat mobil sedang hening. Selain pulang-pergi bersama,
saat ada waktu senggang kami pergi nonton atau karaoke bersama. Melepaskan
sejenak urusan kuliah sejenak.
Sialnya aku kembali berharap bertemu
dia setiap kami menghabiskan waktu senggang. Siapa tahu dia juga sedang berlibur.
Pikirku. Sayangnya hal itu tak pernah terjadi, sekalipun aku tak pernah
menemukan orang yang sama dengan pria waktu itu. Dengan sosoknya yang masih
bergelayut di otakku.
“Nyari siapa sih, Ka?” tanya Ima
padaku atau pada Luika? Aku diam saja dan tetap menyapu pandangan ke sekitar, menyangka
yang Ima tanya itu Luika.
“Nyari siapa, Reika Desyuan?”
ulangnya sambil menyebutkan nama lengkapku dengan penekanan tiap suku katanya.
“Nggak kok, Im.” Aku menunjukkan
deretan gigi-gigi putihku padanya.
“Pulang nonton harus cerita!” Ima
menatapku tajam dengan tatapan kamu-harus-ceritakan-semuanya. Padahal aku tak
ingin membagi kisahku bagian ini pada mereka. Tak penting. Dan tak akan
mengubah apapun kalau aku ceritakan, kan? Aku tetap tak akan bertemu dengannya.
Memendam masalah. Oh, aku kembali teringat ayahnya. Semoga beliau selalu diberi
kesehatan.
Usai menonton film, Ima langsung
ingin minta pulang. Pasti ingin segera mendengar ceritaku, ya? Apa tingkahku
tadi salah dimata Ima? Fiona tak keberatan memenuhi permintaan Ima, yang lain
juga tak berkomentar. Padahal biasanya kami makan dulu. Ima tersenyum lebar
berjalan menuju parkiran.
“Ayo cerita kamu tadi nyari siapa?”
Tanya Ima langsung saat kami sudah berada dalam mobil. Sisanya menatapku heran.
“Maksud kamu, Im?” Rere yang tak
mengerti duduk permasalahannya meminta penjelasan terlebih dahulu.
“Kalian ngerasa nggak sih, tiap
hangout pasti Reika ada di belakang. Dia terlihat mencari seseorang.” Jelas
Ima. Aku tak menyangka Ima sebegitu perhatiannya padaku.
“Iya sih, Reika selalu paling
belakang kalau kita jalan. Sampai aku pikir dia bakal hilang. Haha ” Luika
mengiyakan sembari tertawa.
“Coba cerita, Rei. Sepertinya itu
mengganggumu.” Fiona membujukku. Khusus Fiona aku tak bisa menolak
permintaannya. Aku menghela nafas panjang kemudian mulai bercerita. Mulai dari
pertemuan tiga hari kami, percakapan, sampai keinginanku untuk ke Gunung Dempo,
keinginan untuk menemukannya kembali. Juga tentang sekeras apapun aku berusaha
napak tilas, tetap tak kutemui pria itu.
“Kamu nggak nanya namanya? Kuliah di
mana? Alamatnya di mana? Sudah punya pacar belum?” Ima langsung menghujani
dengan banyak pertanyaan.
“Bukannya harusnya cowok yang
duluan?” Jawabku berdasarkan teori pendekatan yang kubaca dinovel-novel
percintaan.
“Bener itu! Kalau cowoknya aja nggak
berani duluan, bisa jadi dia nggak serius.” Ucap Fiona dengan penuh keyakinan.
“Bisa jadi dia nggak suka sama
Reika.” Skak! Kata-kata Rere yang meluncur begitu saja telah tepat menghancurkan
harapanku pada dia. Rere benar, bisa jadi dia memang tak menaruh hati padaku.
Apalagi kami hanya bertemu dalam jangka tiga hari. Hanya orang bodoh yang bisa
sebegitu suka pada seseorang yang baru ia kenal. Dan itu aku. Ah, Reika bodoh!
“Reika jangan sedih lagi, kalau
jodoh pasti bertemu,” Luika memelukku dari samping. Pasti ia ingin aku
baik-baik saja.
“Re, lain kali jangan ngeluarin kata
pematah semangat ya!” Ima mengingatkan. Yang dibicarakann hanya terkekeh baru
menyadari kata-katanya tadi memang sedikit menyakitkan. Lalu ikut memelukku.
Sedangkan Ima dan Fiona hanya bisa menyemangatiku dari kursi depan.
Memasuki masa ujian aku makin serius
belajar. Belajar untuk ujian dan belajar untuk melupakan pria itu. Obrolan GGC
pun berubah menjadi seputar ujian dan materi-materinya. Kami jadi serius sekali
selama perjalanan. Menuju kampus membahas materi yang kami rasa kurang jelas.
Sepulang perjalanan membahas ulang soal-soal ujian. Begitu seterusnya sampai
akhir ujian. Dan tepat usai ujian topik dalam mobil berganti.
“Liburan mau kemana?” Tanya Fiona.
Kami berpandangan.
“Gunung Dempo!” Teriak kami
serentak.
“Sekalian tahun baruan pasti seru!”
Ima terlihat antusias.
“Kebetulan aku punya saudara di
Pagaralam, menyewakan villa dekat sana. Ku rasa kita bisa bermalam di sana.”
Seisi mobil bersorak sorai. Terutama aku. Akhirnya aku bisa ke sana. Mewujudkan
inginku, menautkan ikrarku. Janji bodoh memang. Kalau aku bertemu dengan pria
itu lagi di sana, aku akan berjuang untuk mendapatkannya sebagai pasangan
hidupku! Kalau tidak, berarti Tuhan berkehendak lain.
Aku menceritakan rencana GGC pada
ibu. Tentunya beliau turut senang. Entah atas dasar apa ibu mengatakan bahwa
aku akan bertemu pria itu. Ibu sampai senyum-senyum sendiri membayangkan
pertemuan kami. Khayalan ibu memang tak ada duanya. Aku jadi ikut sumringah. Membayangkan
betapa romantisnya bertemu dia di Puncak Gunung Dempo sambil menatap bintang
beradu kembang api. Meneriakkan ikrarku. Menghilangkan gengsiku selama ini.
Indahnya bermimpi.
Hari ini pengumuman nilai ujian. Aku
mendapat IPK 3,4. Lumayanlah. Begitu juga dengan anak GGC lain, semua mendapat
IPK diatas 3. Kami jadi lega untuk melangkahkan kaki menuju Gunung Dempo. Ini
awal yang baik. Perasaanku sedang baik hari ini. Ingin cepat ke sana. Cepat
berada di puncak.
Kami berangkat selepas subuh.
Mematikan AC mobil dan membuka jendela mobil. Merasakan terpaan angin yang
masih belum banyak mengandung polusi. Setiap dua jam sekali Fiona dan Ima
bergantian mengemudikan mobil, karena hanya mereka berdua yang memiliki SIM.
Sisanya tidur, melihat keadaan sekitar, sambil sesekali bertanya sudah sampai
di mana kita.
Selama empat jam perjalanan aku
masih terjaga, menatap terus ke luar jendela. Daerah ini aku tak tahu namanya,
baru pertama kali melihatnya. Diam-diam
aku melihat toko-toko di pinggir jalan, membaca nama toko sekaligus alamat di
bawahnya. Lahat. Setelah bangunan-bangunan berpondasi terlewati, sisanya
hamparan pepohonan hijau yang meneruskan sedikit cahaya matahari tak tak
tertutup pepohonan. Hal seperti sangat jarang ditemui kota, hanya beberapa
bagian saja yang tertutup pohon atasnya itupun hanya beberapa meter, seperti
jalan di Kambang Iwak. Salah satu tempat yang sering dijadikan ajang
perkumpulan beberapa komunitas seperti skaters, fixie, atau shuffle. Kadang
tiap pagi aku jogging di sana, menyusuri jalan yang tertutup pohon, menikmati
suasana asri di kota sepadat Palembang yang rasanya hampir setiap hari macet
layaknya Jakarta.
Sempat aku lihat sungai yang
mengalir di bawah kami. Melihatnya sampai ujung sanggup memandang. Airnya
jernih. Terlihat jelas ada beberapa ikan yang melawan arus, beradu dengan
derasnya aliran sungai. Begitu indah. Ingin rasanya mencelupkan kaki di sungai
itu. Berbeda dengai Sungai Musi yang kulihat di bawah Ampera. Air di sana
keruh, berwarna cokelat. Seandainya air Sungai Musi setransparan ini, mungkin
sungai terpanjang di Pulau Sumatera itu telah menjadi duplikat
dari Sungai Torne salah satu sungai terbersih di dunia yang berada di bagian utara Swedia dan Finlandia. Tak henti-henti aku mengucap syukur, takjum akan
pemandangan sederhana yang memanjakan mata. Padahal baru sampai di.
“Kita sampai mana, Im?” Tanyaku
karena lupa nama daerah ini.
“Lahat. Tinggal beberapa jam lagi.
Sabar ya, Reika Desyuan.” Gadis berpipi chubby ini memang suka memanggil nama
lengkapku. Unik, katanya. Reika artinya Keajaiban. Desyuan diambil dari kata
Desember dan Januari, karena aku lahir diantara bulan itu. Ya, aku lahir tepat
pukul 12 malam. Malam akhir dan awal tahun.
Aku kembali bergelut dengan
pemandangan indah daerah Lahat. Angin serasa makin mengencang. Perlahan
menggoda kelopakku untuk menutup. Aku kalah. Mataku terpejam sampai mereka
membangunkanku.
“Bangun, Rei!” Gadis bersuara khas
ini menggoyang-goyangkan tubuhku. Siapa lagi kalau bukan Fiona. Aku sudah hafal betul suaranya. Perlahan aku membuka mataku. Membiasakan
intensitas cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatanku ini. Aku mengedarkan
pandanganku. Kebun teh di sudut kiri dan villa cukup besar di sebelah kanan.
Jauh di depan ada sebuah gunung menjulang tinggi. Apakah itu Gunung Dempo?
Aku keluar dari mobil, membawa tas
carierku ke dalam villa. Menggosok-gosokkan telapak tanganku untuk memberi
sedikit kehangatan. Udara di sini begitu dingin, ditambah waktu berkunjung kami
yang bertepatan dengan musim penghujan. Tak heran suhu udara di sini bisa
dibawah 26 derajat celcius, selain memang karena berada di dataran tinggi juga
karena dingin yang disisakan hujan.
Kamar kami ada di lantai dua. Ya,
aku bersama yang lain satu kamar, walaupun masih banyak kamar kosong. Untuk
mempererat jalinan pertemanan, kata Fiona. Kamar ini cukup besar, sangat besar
malah. Ada dua kasur berukuran king size yang diantaranya dipasang karpet bulu
dengan beberapa boneka. Di sudut kamar ada pintu untuk mengakses balkon depan.
Dari balkon pemandangan yang terhampar kebun teh dan Gunung Dempo. Tentunya
dengan jarak pandang lebih jauh karena ketinggian dari balkon ini. Sekilas aku
melihat banyak pengunjung lain yang berjalan-jalan. Berfoto diantara pohon teh
dengan pose merentangkan tangan. Setelah itu kembali memasukkan tangan ke saku
jaket. Kedinginan.
Jam sudah menunjukkan angka satu.
Kami juga merasa capai. Apalagi Fiona dan Ima yang sedari tadi mengemudi. Nanti
malam kami juga harus mendaki, agar bisa berada di Puncak Gunung Dempo saat
tahun baru. Artinya saat aku berulang tahun juga. Aku tak sabar menanti momen
itu. Pasti itu akan jadi salah satu hal terindah dihidupku.
Aku bersama yang lainnya menelurusi
jalan setapak. Trek pendakian tidak begitu sulit. Sejauh ini belum ada yang
mengeluh, masih kuat mendakit dengan membawa carier berisi makanan instan dan
keperluan lain seperti kotak P3K. Aku tersenyum senang jarak antara aku dan
puncak makin menipis. Sesekali kami beristirahat kemudian mengabadikan detik
itu dengan senyum merekah saat tombol shutter kamera ditekan. Kalau ada yang
lewat kami minta bantuan untuk difoto berlima. Di jalan mendaki seperti ini
sulit menggunakan tripod, tak ada bagian datar di sini. Sambil terus mendaki
aku menikmati pemandangan sekitar. Semilir angin mengibaskan kerudungku.
Dedaunan yang sudah berwarna cokelat jatuh, hinggap di atas kepalaku. Ku
biarkan saja, biar angin yang membawanya. Biar perasaan ini juga angin yang membawanya.
Kalau ia ingin, ia ia datang kembali. Kalaupun tidak aku juga ikhlas. Aku
menyeka air mataku. Perasaanku akan segera kulepas jika saat dipuncak aku tak
bertemu dengannya. Aku juga lelah terus mencari tanpa tahu siapa dia. Bagai
mencari jarum dalam jerami. Yakin dia ada tapi tak kunjung kutemui, padahal aku
sudah memegangnya, sudah pernah mengenalnya. Memang hanya tiga hari, tapi itu
lebih dari cukup. Perasaan ini berkembang begitu saja.
Carier kami tinggalkan. Karena
selanjutnya kami akan mendaki trek yang lebih sulit karena ini puncak hanya
tinggal beberapa meter saja. Ayo, Reika lanjutkan langkahmu! Tiba-tiba gempa
melanda. Aku panik. Teman-temanku meneriakan namaku. Begitu keras!
“Reika! Bangun!” Aku memaksa diriku
bangun. Oh, itu cuma mimpi. Padahal sedikit lagi aku akan mencapai puncak
kenapa malah dibangunkan?
“Cepat mandi, lekas turun ke bawah,
kita makan, lalu berangkat!” Jelas gadis berkucir kuda ini padaku.
“Iya iya, Luika. Aku masih
mengumpulkan nyawaku.” Aku berjalan gontai menuju kamar mandi. Kemudian
menunaikan setiap perintah Luika tadi. Tak perlu berlama-lama dan aku siap!
Tapi tunggu, sepertinya ada yang kurang.
“Rere mana?” Tanyaku menyadari gadis
polos itu tak ada diantarai kami.
“Dari tadi belum selesai mandi?”Fiona
merespon. Kamipun menuju kamar memastikan keberadaan Rere. Dan kami sangat
terkejut melihat Rere yang menggigil berselimut. Wajahnya pucat sekali.
Sepertinya ia kedinginan.
“Rere nggak mungkin ikut ke puncak,
badannya panas banget. Harus ada paling nggak satu orang yang jaga dia. Siapa
yang mau nemenin Rere?” Kami diam. Bahkan Fiona yang tadi mengajukan tempat
juga diam.
“Aku!” Semua menoleh ke arahku. Aku
tahu pasti dipikiran mereka aku ini aneh. Menyia-nyiakan kesempatan yang aku
tunggu. Menikmati tahun baru di Puncak Gunung Dempo. Menggantungkan harapan
bertemu pria itu di atas sana. Ya, kesempatan bisa datang lagi kan? Aku juga
tak mau membiarkan Rere yang sedang sakit sendirian begini.
Aku mengantarkan mereka sampai
teras. Melepas kepergian mereka yang akan menikmati tahun baru di atas sana. Di
tempat aku menaruh keinginan terbesarku. Sekarang aku malah berdoa dia tak ada
di puncak sana. Ada di tempat lain saja agar aku tidak merasa sakit yang
berlebih karena menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengannya. Aku hendak masuk
ke dalam villa mengecek keadaan Rere yang tadi barusan aku kompres.
“Assalamualaikum.” Suara itu. Apakah
aku bermimpi? Suara itu. Aku ingat benar suaranya. Suara pria itu. Aku masih
membeku. Perasaan tak percaya masih menyisakan tanda tanya besar.
“Halo, kamu dengar saya?” Suara itu
membuyarkan lamunanku. Aku berbalik kemudian menjawab salamnya tadi.
“Alhamdulillah kita bertemu lagi.
Nggak ke puncak?” Tiap pertanyaan yang selalu aku rindukan. Kembali aku dengar.
Aku ingin menangis saat ini juga.
“Teman aku sakit, aku harus
menjaganya.” Oh tidak, aku mulai menitihkan air mata.
“Sebegitu sayangnya ya, sampai
nangis begitu?” Bukan. Aku menitihkan air mata ini karena aku bahagia. Tak
perlu sampai dipuncak aku telah dipertemukan secara ajaib dengan sosok yang
selama ini aku cari. Ingin sekali aku berkata begitu tapi lidah ini terasa
kelu.
“Mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku
ingin meminta alamat rumahmu. Ada yang ingin aku katakan pada orang tuamu.” Ini
perasaanku saja atau memang dia ada maksud lain?
“Aku ingin melamarmu.” Duar! Kembang
api dalam hatiku meletup begitu saja. Sungguh ini. Aku. Apakah aku bermimpi?
Benarkah yang dia katakan? Air mataku makin menjadi. Dia menyodorkan sapu
tangannya padaku.
“Aku merasa sangat bahagia. Tak
pernah terpikirkan skenario sehebat ini telah dituliskan oleh Tuhan.” Dia hanya
tersenyum. Senyum yang terasa sejuk saat kupandangi dalam tiga hari itu. Segala
sikap baik yang ia tunjukkan walau sedikit sudah membuat hatiku mantap.
Kembang api penuh warna diikuti
suara lantangnya. Menyinari puncak gunung yang terlihat indah dari teras villa
ini. Dipadu hembusan lembut angin yang menggesek pucuk-pucuk pohon teh. Bintang
berkelip seakan mengedipkan mata ke arahku. Meledekku yang sedang bahagia
mendapat kabar semenakjubkan ini. Gunung Dempo jadi saksi yang indah. Tahun baru yang indah. Ulang tahun yang
indah. Keanu. Dia yang terindah.
waw
ReplyDelete