Surat Untuk Ramadhan

Hai, Ramadhan. Salam hangat untukmu.

Hitungan jari kau siap meninggalkan aku. Meninggalkan kenangan baru akan waktu yang kulewati bersamamu. Kalau ku ingat-ingat, kedatanganmu selalu kusambut berbeda. Yang paling terasa adalah perbedaan usia dan lingkungan. Kembali membawaku pada pertemuan kita tahun lalu, dua tahun yang lalu, bahkan saat aku mulai mengingat pertemuan pertama kita. Lantas aku mulai membandingkan ada di mana aku. Pencapaianku saat bertemu denganmu sudahkah tertebus? Kado yang kau bawa tiap perjumpaan, apa sudah bisa aku terima?


Bahkan entah kapan. Tak tahu usiaku telah berapa sampai aku benar-benar yakin aku telah menerima kadomu, Ramadhan. Padahal aku telah mengetahui apa yang kau bawa. Namun aku masih enggan untuk mengambilnya. Aku hanya membuka kadomu, melihatnya, memegangnya sebentar. Lalu tak lama aku kembali mengabaikanmu. Saat aku sadar bahwa kau bersiap pulang, aku memikirkan betapa meruginya aku. Keajaiban besar kau menemuiku tahun ini. Tahun depan aku tak tahu apakah kita bisa bertemu lagi. Apa aku bisa membalas rinduku padamu nanti. Akankah ketika kita bertemu lagi aku telah siap menerima kadomu itu, Ramadhan. Semoga. Itu doaku. Karena tiap tahun ada hal yang kupelajari darimu.

Ketaatan pada-Nya yang kau paksakan. Rasa butuh akan wajib. Perasaan wajib atas yang sunah. Juga rasa menghindari yang kuat untuk larangan-Nya. Paksaan itu. Lambat laun menjalar. Menjadi kebiasaan. Jika diteruskan bisa jadi kebutuhan. Begitulah harusnya. Ramadhan, kau selalu ajarkan itu tiap pertemuan kita. Terima kasih.

Atas segala kebaikan yang turut serta bersamamu. Kepada-Nya yang telah memberiku kesempatan tahun ini. Semoga tahun depan kita masih bisa bertemu. Lihat aku, Ramadhan. Saat kita bertemu. Bahkan selepas kau pergi. Aku akan berusaha agar bisa menjadi orang yang beruntung. Lebih baik dari sebelumnya. Menggapai benar kado itu.

Salam rindu untukmu, Ramadhan.

Palembang, 13 Juli 2015
21:06