Saturday, December 18, 2010

Kue Pukis

Hembusan angin itu membuat kabut yang ada di sekitarnya semakin memudar, samar-samar aku bisa melihat wajahnya. Badannya tinggi, kulitnya putih, kelihatannya china gitu, oh pasti ganteng.
“Lady!” Suara itu terdengar meneriakiku, saat aku akan berusaha mengejarnya tapi entah tiba-tiba awan hitam ada di atas kepalaku dan hujan pun turun.
“Lady, bangun!” Sontak aku bangun dari tidurku dan aku basah kuyup sebab mamaku menyiramku dengan air.
“Ma, apa apaan sih?” Aku pun marah pada mamaku.
“Kamu nggak sekolah?”
“Karena nggak sekolah makanya aku tidur ma!” Mamaku terlihat bingung, dan ia pun memberikanku senyuman dengan gigi yang meringis.
“Maaf sayang,” Hah, ternyata mama lupa kalau ini hari Minggu, padahal aku penasaran siapa orang itu. Coba saja mama tidak membangunkanku pasti aku sudah bisa melihat sosok yang sering datang dalam mimpiku itu. Melihat tubuhku yang basah kuyup aku pun menuju kamar mandi pastinya untuk mandi masa tidur lagi? Setelah selesai mandi ku lihat ponselku dan tak ada pesan untukku.
“Mending aku jalan-jalan aja deh,” Aku pun mengambil sepatuku dan bergegas meninggalkan rumah.
“Dy, mau ke mana?” Tanya mamaku.
“Jalan-jalan,”
“Nih, mama titip ya.” Mama memberiku sebuah keranjang yang isinya daftar belanjaan, ya mama menyuruhku belanja.
“Yah, mama.” Aku pun berangkat dengan wajah lesu, berangkat niat jalan-jalan ketemu temen malah disuruh ke pasar. Dengan langkah yang sangat berat aku berlari menuju pasar.
“Pukis, pukis!” Wah ada yang jualan kue pukis, kue itu adalah kue kesukaanku. Langsung aku menuju abang yang berjualan kue pukis, lalu membeli kue pukis seharga tiga ribu dolar, nggak kok rupiah.
“Bang bikin kue pukis gimana sih?” Tanyaku pada abang yang berjualan kue pukis.
“Gampang bahan-bahannya…..” Abang itu pun menjelaskan bahan dan cara membuat kue pukis, aku langsung mencatatnya dan bergegas membeli bahan-bahannya.
“Pak, terigunya satu kilo, gulanya seperempat….” Dengan semangat 45, aku membeli bahan-bahan, dan berusaha menawar sebisa mungkin walau nggak berhasil -_-“
“Capeknya, uangnya tinggal lima puluh ribu. Kenapa sisanya banyak banget ya? Oh, iya aku ke sini kan mau belanja! Ah dodol!” Aku pun membaca dengan cermat daftar belanjaan, ada kangkung, jeruk, labu siam, bayam, sirup, garam, jahe, waduh bejibun dah. Mati deh, mana cukup kalau cuma lima puluh ribu? Dengan cepat aku mencoba membeli semua pesanan mama.
“Garam berapa bu?”
“Dua ribu,”
“Lima ratus bisa bu?”
“Bisa, tapi dapatnya dikit nggak pakai tempat.”
“Okelah,” Aku berusaha sebisa mungkin mendapatkan semua pesanan mama, walau aku tahu sesampainya aku di rumah pasti mama akan marah.
“Selesai, tinggal pulang!” Dengan bangga aku berjalan menuju rumah, di jalan aku bertemu Bella musuh bebuyutanku.
“Eh, Ladoy, dari pasar?” Biasalah Bella selalu mengejekku, dan itu sudah jadi makanan sehari-hari kami, yaitu saling mengejek.
“Yaiyalah Bellek, masa dari KUA?” Perlahan Bella menghampiriku, dan mengambil salah satu belanjaanku.
“Ladoy, gue minta gulanya ya!” Bella berlari mengelilingi diriku sambil membawa, tapi aku terus berjalan dan tidak peduli dengan apa yang diperbuat Bella.
“Ladoy, beneran nih buat gue?”
“Ambil aja, orang itu buat bu Dea, tadi bu Dea nitip gula ke aku. Kalau gulanya nggak ada tinggal bilang deh kalau yang ngambil Bellek pasti bu Dea ngamuk.” Bella langsung mengembalikan gulaku (bukan merek gula, tapi maksudnya milikku), kemudian pergi. Memang permusuhan aku dan Bella tidak sampai seperti kucing dan tikus melainkan hanya sebagai teman berantem aja, kalau sahabatan juga bisa sih.
“Lady, pesenan mama ada semua?” Bukannya nanya kabar, dateng-dateng malah ditanyain belanjaan, dasar si mama.
“Ada ma, tapi alakadarnya.” Aku pun menyerahkan keranjang berisi belanjaan pada mama.
“Satu.” Mama masih tersenyum melihat belanjaanku lengkap.
“Dua.” Mama mulai bingung melihat ada barang yang tidak utuh lagi.
“Tiga.”
“Lady!” Mama menjewer telingaku, sambil menunjukkan belanjaanku.
“Apa apaan ini? Garam cuma satu sendok makan, jeruk satu buah, labu siam setengah, bayam satu ikat mana dikit banget, sirup cuma satu botol minyak kayu putih yang kecil, aduh sayang uangnya ke mana?” Ku dengar celotehan mama dengan sabar, dan kepala tertunduk.
“Buat beli bahan kue pukis ma,”
“Sebagai ganti kamu harus membuat kue pukis!” Nah, hukumannya enak banget nih, aku jadi bisa nyoba gimana caranya bikin kue pukis. Aku pun bergegas ke dapur dan mencoba membuat kue pukis sesuai cara yang telah diajarkan oleh abang tukang kue pukis.
“Mami, this is it kue pukis ala chef Lady!” Kataku sambil menunjukkan sepiring kue pukis.
“Gayamu Lad, pakek bahasa Inggris. Enak nggak ni?” Mamaku pun mencicipi kue buatanku sedikit demi sedikit lama-lama ketagihan.
“Enak banget, Lad. Bikinin lagi dong.”
“Ehm, tapi lunas ya hutang aku ke mama?” Mama hanya mengacungkan ibu jarinya, dan aku kembali ke dapur. Tak lama aku telah kembali ke hadapan mama.
“Mama udah kenyang, Dy. Kamu jual aja deh, itu kuenya lumayan buat ganti uang mama tadi.”
“Bilang aja suruh ganti uangnya,” Mamaku hanya meringis dan memberiku sebuah tampan yang beralaskan Koran, aku pun hanya menurut tidak bisa membantah.
“Kue, kue!” Sedikit demi sedikit teriakanku memanggil para tetangga untuk mencicipi kue buatanku tapi bayar. Wajah mereka memperlihatkan bahwa kue buatanku ini enak, jadi mereka membeli lagi, malah mengajak yang lain ikut beli.
“Sisa dua ni,” Kataku sambil melihat tampanku berisi 2 kue yang masih hangat. Sambil menunggu pembeli aku pun tidur di trotoar.
“Kak, saya lapar kak.” Seorang adik kecil meminta-minta padaku, aku pun memberikannya semua kue yang tersisa itu, lalu adik itu berterima kasih dan pergi.
“Kue! Beli kue!” Terdengar ada yang meneriakiku, dan perlahan terdengar suara kaki yang mendekatiku.
“Mbak, kue dong!” Sekarang dia memegang bahuku, dan saat aku berbalik.
“Bella?” Ternyata Bella, ku pikir siapa.
“Lady? Jadi kamu yang jualan kue?”
“Iya, kenapa? Nggak suka!”
“Kue kamu nggak enak.”
“Ngapai mau beli?”
“Biar yang lain nggak keracunan!” Bella pun pergi, sepertinya dia gengsi kalau disuruh membeli kueku. Kan dia musuhku. Aku pun berjalan pulang menuju rumah, dengan membawa nampan kosong. Tak terasa ada yang menepuki bahuku.
“Katanya nggak mau beli.” Tangan itu terus menepuki bahuku.
“Bella, maumu apa sih?” Aku pun berbalik badan, dan ternyata…..
“Kenalin aku Ed….”
“Lady, bangun!”
“Apa?” Seorang ibu-ibu ternyata membangunkanku.
“Kamu tuh ketiduran gara-gara nunggu dagangan kamu abis. Ini ibu mau beli.” Ternyata cuma mimpi, ku kira beneran. Setelah itu aku berjalan menuju rumah dan memberikan uang hasil penjualan kue pukisku pada mama. Dan menuju tempat tidurku. Aku berpikir kenapa setiap aku tertidur pasti aku bermimpi tentang cowok yang sangat misterius, dan baru kali ini aku bisa melihat wajahnya begitu jelas. Sambil berbaring aku mencoba beristirahat dan akhirnya tertidur.
“Siapa ya nama cowok itu? Dia bilang, Ed. Tapi pasti ada terusannya, Edmun, Edfang, Edi, atau bahkan Edan? Ah, apa sih tandanya?” Batinku saat aku setengah terlelap. Hampir pukul 7 terdengar ada yang mengetuk pintu kamarku, dan aku membukanya.
“Ada tamu buat kamu, Lad.” Siapa? Apa Bella, yang mau membeli kueku? Dengan perasaan penasaran aku menuju ruang tamu, dan aku melihat sesosok lelaki tampan yang sama dengan yang ada dalam mimpi kue pukisku.
“Kamu? Cowok kue pukis kan?” Kataku sambil menunjuk ke arahnya.
“Aku Edgar, teman TK kamu, ingat kan?” Aku pun mengingat-ingat nama Edgar dalam folder TK, dan kutemukan itu.
“Edgar, yang suka ngajak aku main kembang api, dan kue pukis ya?” Edgar mengangguk, dan aku pun memeluk erat dirinya. Sekarang Edgar sangat tampan, dank arena dia aku jadi sangat suka dengan kue pukis.
>>Flash Back
“Lady, kalau kamu bisa buat kue pukis ini aku bakal jadi pacar kamu.” Kata Edgar waktu itu.
“Bener? Tapi sampai kapan aku bisa buat kue ini?”
“Sampai aku datang kembali.” Edgar mencium pipiku, dan itu pertemuan kami di hari imlek yang cerah itu.
>>Back
Saat itu Edgar pindah ke Singapore untuk sekolah, karena orang tuanya di pindahkan bekerja di sana. Sudah hampir 6 tahun aku tidak bertemu Edgar, dan aku sangat merindukannya. Aku sangat bahagia, mungkin sebab kue pukis itu Edgar benar-benar datang.
“Tunggu!” Semua menatapku, dan aku mencubit pipiku sendiri.
“Aduh!” Jeritku kesakitan.
“Ini bukan mimpi Lady.” Edgar mendekatiku dan kembali mencium keningku, pipiku pun merah merona. Mama hanya menatapku tajam, seperti akan ngamuk setelah Edgar pergi. Aku dan Edgar saling bertukar cerita, tak lupa aku bercerita tentang mimpiki yang semuanya adalah Edgar, juga Bella musuhku.
“Eh, aku mau nyoba kue pukis buatan kamu dong.”
“Beli bahannya dulu ya.” Edgar memegang erat tanganku, menuntunku di dalam kegelapan dan menuju sebuah cahaya lampu yang terang.
“Bang, beli ini.” Aku pun memberi daftar belanjaan ke abangnya, selagi menunggu Edgar membeli kembang api yang ada di sebelah kios tempat kami membeli bahan kue pukis. Kilauan lembut kembang api selalu menyejukkan hatiku, baru kali ini aku melihat kembang api bersama Edgar setelah 6 tahun aku menunggunya. Terdengar bisikan memanggilku, dan aku tidak memperdulikan itu dan tetap melihat kilau kembang api yang sangat indah.
“Adek! Woy!” Abang itu ternyata dari tadi memanggilku, dan aku langsung mengambil belanjaan dan memberi sejumlah uang. Setelah itu kami berdua menelusuri jalanan dengan kilau kembang api yang kami pegang.
“Edgar, aku ingin persahabatan kita tidak seperti kembang api ini.”
“Persahabatan? Apa kamu tidak berharap lebih? Aku datang ke sini karena ingin mengatakan isi hatiku, dan menebus janjiku bahwa saat kamu sudah bisa membuat kue pukis maka aku akan jadi pacarmu, mau kan?” Aku mengangguk, dan Edgar bersorak gembira kemudian memelukku, tak pernah ku sangka kue pukis ini membuat aku seberuntung ini bisa memiliki Edgar.

No comments:

Post a Comment

ayo komentar postingan ini, pasti komentar kalian akan sangat berguna buat saya khususnya. komentar ya....