Dimulai dari sebuah ketertarikan untuk menjadi putri dalam
dunia khayalku. Dunia ini menjadi lebih nyaman saat para ksatria berperang
untukku. Menebas semak belukar yang menghalangi jalanku. Memberi sandaran saat
aku ketakutan pada rauman makhluk dalam hutan. Mereka lebih dari itu. Mereka
sayap pelindungku. Meskipun dalam nyata itu tetap jadi khayalan. Mimpi indahku.
Seperti biasa aku mengayuh sepeda menuju sekolah. Tak pernah
ketinggalan headset yang melekat di telinga. Saat ku tekan tombol play, alunan
gitar dipadu dentingan piano sesekali. Suara khas itu menyusul. Mengembangkan
senyumku memulai pagi ini. Pitchforks and Torches mengalun senada dengan senandungku.
Beginilah ku awali hari, menjadi lebih berwarna sejak aku mengenal mereka.
Baiklah, aku hanya sekadar tahu mereka. Mada, Reuben, dan Mikha. Tiga ksatria
yang aku bicarakan di awal. Apa kalian mengenalnya? Haruskah aku mengenalkan
mereka pada kalian? Tenang, akan kuceritakan saat aku sampai di sekolah.
Jadi, mereka bertiga adalah pelindung Sang Putri yang
kesepian. Menjemput mereka dari menara tak berpenghuni dengan awan hitam yang
menyelimutinya. Tepat saat Putri merasa keputusasaannya akan abadi.
“Apakah kau yakin ada seorang putri di dalam menara ini?”
Putri mendengar suara orang lain! Hal yang tak pernah ia dengan belakangan ini.
Terlebih lagi suara itu terdengar khas, cukup kuat untuk memompa jantung Putri
lebih cepat.
“Untuk memastikannya kita harus segera mencapai puncak
menara ini!” Seseorang merespon. Orang itu tak sendiri. Putri terus berdoa agar
mereka tetap berusaha untuk mencapai puncak kemudian menolongnya.
Kadang ia mendengar teriakan. Mengomandokan pada yang lain
untuk berhati-hati. Kencangkan tali! Berpinjak pada sisi yang kokoh! Saling
menyemangati agar bisa sampai di puncak menara. Perlahan muncul jari-jari yang
terlihat kuat mencengkram tepi jendela menara. Tak lama ia menampakan wajahnya.
Sangat tampan. Putri terdiam untuk beberapa saat, menikmati momen yang sangat
ia tunggu. Tak lama muncul kembali dua orang yang berurutan masuk ke ruang
puncak menara juga.
“Dor!” Ferrol mengangetkanku. Dia memang selalu begini,
menganggu ritualku berdiam di singgasana menanti bel masuk berbunyi sambil
tetap mendengarkan lagu-lagu para ksatriaku.
“Ferrol, udah berapa kali gue bilang. Jangan gangguin gue!”
Ferrol tetap di tempatnya. Di depan tempat dudukku. Bangku urutan dua dari
belakang. Yup, jadi aku duduk paling belakang di kelas. Tempat yang strategis
untuk menghabiskan jam kosong dengan musik khas pembangkit semangat.
“Yakin nih nggak mau denger beritanya? Padahal ini tentang
para ksatria lo loh.” Ya, aku menceritakan kisah itu juga pada Ferrol. Orang
menyebalkan itu merangkap sebagai sahabatku. Sejauh ini dia pendengar yang
baik, ya walaupun dia sering menjadikanku bahan candaan.
“Mau! Berita apa?” Jawabku antusias. Aku tak bisa berdiam
diri kalau ini menyangkut para ksatriaku.
“Acara pensi nanti, sekolah kita mau ngundang mereka!”
Rangsangan tiap selku berjalan cepat. Membuatku melonjak kegirangan mendengar
berita itu.
“Tapi diganti jadi band lokal!” Saat itu juga aku meninju
bahu Ferrol. Diam di tempatku semula. Membiarkannya dalam kesalahan.
Para ksatria itu menatap Putri lamat-lamat. Begitu juga
dengan Putri. Entah apa yang ada dipikiran mereka. Suasana hening sekali, tak
seperti dalam kisah Rapunzel, dimana Pangeran dan Rapunzel saling mencintai.
Sepertinya mereka tak seperti itu.
“Terima kasih sudah datang menolongku.” Putri memulai
percakapan.
“Tidak, harusnya kami yang berterima kasih. Karena Putri
terus menunggu kedatangan kami.” Ksatria berambut keriting mengutarakan apa
yang ada dipikirannya.
“Kami sudah mencari Putri ke manapun, sayang mereka sudah
tidak ada di tempat. Entah melarikan diri, bunuh diri, atau sudah ditolong oleh
ksatria lain.” Suara ksatria ini yang Putri dengar pertama kali. Suara yang
khas dan menenangkan.
“Suatu kebanggan kami bisa bersama Putri menjelajahi Negeri,
kami akan menjadi sayap pelindungmu.” Ksatria satu itu mengulurkan tangannya,
Putri menyambut dengan perasaan haru. Belum pernah ia diperlakukan sebegini
istimewa. Apalagi sentuhan ksatria ini sangat lembut, namun kuat mengenggam
jari jemarinya.
Tet...tet...tet... Bel tanda masuk berbunyi. Aku langsung
melepaskan headset lalu meletakkannya di dalam laci. Ferrol masih diam. Gengsi
untuk minta maaf mungkin? Biarlah, aku ingin sesekali mengajarkannya untuk
berhenti membuat candaan yang menyakiti orang lain. Jam pertama adalah kimia,
tapi kenapa malah guru BK yang masuk?
“Anak-anak diharap berkumpul di Aula sekarang! Kita
kedatangan tamu.” Seisi kelas bertukar pandangan. Menerka siapa tamu yang
datang sampai kami harus dikumpulkan di Aula. Walaupun dalam hati aku yakin mereka
berterima kasih pada tamu ini karena membuat mereka melewatkan jam kimia.
Ferrol meninggalkan kelas duluan. Tanpa mengajakku, tak seperti biasanya kalau
jam istirahat tiba. Bukankah seharusnya aku yang bersikap dingin begitu? Dasar
gengsian!
Aku berjalan diantara kerumunan yang lain menuju Aula.
Tentunya aku membawa serta headset dan mp3 playerku, untuk jaga-jaga kalau tamu
itu tidak begitu menarik. Dari beberapa ocehan kecil siswa aku menyimpulkan
bahwa tamu itu datang mendadak. Karena tak ada satupun yang tahu, mereka malah
bertanya satu sama lain. Aku tak mau mendengar kicauan tak penting mereka,
lebih baik aku mendengarkan lagu para ksatriaku.
“Auu.. Uu.. Haaa.. Aaa..” Apakah telingaku bermasalah?
Kenapa aku mendengar seolah-olah Mikha benar-benar bernyanyi saat ini?
“Mikhaaa!!!” teriak para siswa histeris. Tunggu. Mikha? Dia
tamunya? Aku langsung berlari mendekati pintu Aula, sampai seseorang menyeretku
ke samping pintu Aula. Ferrol.
“Ferrol, apaan sih? Di Aula ada Mikha, lebih hebatnya lagi
kalau di dalam ada The Overtunes! Gue mau ketemu mereka, Ferrol!” Bukannya
melepaskanku, dia malah membawaku ke pintu belakang Aula. Backstage?!
“Biar lo puas, lo bisa masuk backstage sesuka lo. Mau foto,
tanda tangan, peluk, apapun kecuali cium!” Ferrol membukakan pintu backstage.
Aku melihat ada Andrew di sana. Dia tersenyum sambil melambaikan tangan. Manis
sekali. Dia menepuk tempat kosong di sampingnya, mempersilahkan aku duduk di
sana.
“Ferrol, thanks ini... Susah diungkapin Fer! Makasih ya,
Fer.” Aku memeluk Ferrol erat, kemudian mengambil tempat di samping Andrew. Aku
bicara sebentar pada Andrew lalu menuju pintu. Aku berniat ikut menikmati
penampilan The Overtunes langsung. Ku lihat Ferrol berdiri di pintu masuk utama
Aula, menatap The Overtunes dari kejauhan. Aneh sekali.
“Woy, ayo nontonnya deket-deket!” Aku menyeret Ferrol mendekati
panggung.
“Kok lo nggak diem di backstage aja?” Tanya Ferrol padaku.
“Gue pengen denger mereka perform langsung, ngalirin energi
mereka lewat musik yang mereka bawain. Langsung. Itu rasanya berkali-kali lipat
dari dengerin mereka lewat mp3 player. Lagipula yang gue nikmatin musiknya,
cara mereka nyiptain atmosfer lewat alat musik dan suara yang mereka bawain,
mereka nggak sama kayak band lain, Fer. Bisa foto atau segala macem itu nomor
sekian.” The Overtunes membawakan 8 lagu. Soulmate, A Thousand Years, Lost,
Gravity, Pitchforks and Torches, Don’t You Worry, Viva La Vida, dan Gone Gone
Gone. Aku sangat menikmati saat ini. Semangat dalam tubuhku mencapai titik
maksimum. Begitu hebatnya mereka mempengaruhi mood seseorang. Jika ada kata
yang mendefinisikan lebih dari bahagia mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan
perasanku saat ini. Saat musik mereka mengalun memanjakan.
Aku adalah sayap pelindungmu, The Overtunes. Bersama Tunists
kami melindungimu lewat dukungan tiada henti tiap langkahmu. Sekalipun kami tak
selalu ada di dekat kalian, mengikuti setiap tapakan nyata kalian. Tapi kami
menyalurkan dinding pelindung kami lewat kata yang tertulis di dunia maya, berusaha
ada untuk meramaikan kehadiran kalian, memperkenalkan musik kalian pada manik
mata yang ada di dekat kami. Karena kalian juga telah menjadi sayap pelindung
kami. Melindungi kami dari perasaan sepi, jatuh, atau apapun yang membuat kami
terpuruk. Hanya dengar lantunan ajaib itu, kalian telah melindungi kami. Tanpa
harus mengawal kami dalam nyata.
keren-keren, like (y)
ReplyDelete