Tuesday, December 31, 2013

3 Hari Untuk Dempo





Sepulang kuliah siang ini aku kembali menjaga ibu yang sedang di rawat di rumah sakit. Beberapa hari terakhir kondisi ibu mulai menurun akibat diabetes yang dideritanya. Ini juga karena ibuku yang bandel makan durian yang mengakibatkan badannya menggigil dan gula darahnya naik. Aku menunggu dengan setia Trans Musi di Halte Bukit, berharap busway itu cepat datang, ingin segera menyuapi snack sore ibu. Sembari menunggu aku mengedarkan pandangan, melihat banyak orang berlalu lalang menggunakan kendaraan, saling salip untuk segera menuju ke tempat tujuan masing-masing. Ada juga orang-orang yang memilih berjalan kaki, hati-hati menyebrang kemudian ikut masuk ke dalam halte. Menunggu busway sepertiku. Orang ini lagi. Aku tersenyum saat pandangan kami beradu. Tiga hari terahir kami saling melempar senyum.

“Hari ini hari terakhir ayah kakak dirawat, kan?” Ucapku memastikan. Hebat, ini pertama kalinya aku memulai percakapan! Pembahasan kami selama bertemu, saling menanyakan kabar orang yang kami jaga, kadang juga hal lain. Sekilas terlihat akrab, padahal namapun kami tak saling tahu. Dia yang selalu memulai percakapan (kecuali tadi), tapi ya seputar ibu saja, tentang aku tidak pernah ia tanyakan sama sekali. Kadang aku cemburu ibu malah lebih banyak dapat perhatiannya. Tunggu, cemburu? Apa ini bisa dikategorikan cemburu?

Dia mengangguk menanggapi pertanyaanku tadi, kemudian arah pandangnya menuju busway yang mulai mendekati halte. Busway kali ini penuh penumpang, hanya bisa memuat empat orang, dan dia mengalah mempersilahkan yang lain untuk naik lebih dulu. Termasuk aku. Pintu busway mulai menutup, ia duduk di kursi halte menatap arah kedatangan busway, tanpa mencoba menatap ke arahku. Padahal hari ini terakhir kami bertemu. Ayahnya sudah diperbolehkan pulang dan bisa rawat jalan, dia pasti tidak akan kembali menunggu busway di Halte Bukit. Pintu sudah tertutup sempurna dan bodohnya aku melupakan apa yang ingin aku tanya dan katakan padanya dihari terakhir ini. Bagaimana kelanjutan selain itu? Dan aku juga ingin ke Gunung Dempo!

“Kenapa? Kehilangan pria buswaymu itu?” Goda ibuku saat aku menyuapi kue jatah snack sore.
“Ah, ibu. Sudah nanti aku malah kepikiran terus,” aku berkilah mengambilkan air minum untuk ibu. Menahan sebentar pertanyaan-pertanyaan seputar pria busway itu. Saat aku menceritakan ketertarikanku pada dia, ibu hanya terkekeh. Heran anak zaman sekarang begitu mudah jatuh cinta. Padahal hanya bertemu tiga hari. Durasi pertemuan hanya selama jarak tempuh busway dari Halte Bukit sampai Halte Rumah Sakit Siti Khadijah. Yang diperbincangkan malah orang tua. Tak saling mengenal identitas jelas masing-masing. Aneh.

Aku telah masuk ke dalam busway. Pintu sudah hampir tertutup. Namun seorang pria langsung masuk dengan langkah lebarnya sepersekian detik sebelum pintu busway tertutup rapat. Dia menempelkan kartu buswaynya sampai mesin berbunyi ‘terima kasih’. Ia mengedarkan pandangan mencari tempat kosong, sayangnya tak ada tempat lagi untuknya. Aku dapat kehormatan menduduki kursi terakhir yang kosong. Dia berdiri dengan tangan kanan menggantung berpegangan. Tubuhnya tinggi hampir setinggi atap busway. Dengan setelan kaos, jeans, serta sepatu converse membuatnya terlihat seperti mahasiswa lainnya di kampusku. Tapi entah apa yang membuatku terus menatapnya selama perjalanan. Saat mulai dekat halte pemberhentian aku berdiri. Berdiri di dekatnya. Sekilas dia menoleh, pandangan kami beradu. Aku menundukkan kepala seraya menunjuk kursiku tadi.

“Oh, nggak apa-apa mbak,” ucapnya polos.
“Sebentar lagi saya turun kok,” dia tersenyum lalu duduk di kursiku tadi.
“Terima kasih,” lanjutnya saat dia telah duduk sempurna dengan intonasi suara seperti mesin taping kartu busway. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.

Esoknya kami bertemu lagi. Kali ini dia tidak datang saat busway akan meninggalkan halte. Justru ia menunggu lebih dulu di halte. Saat aku memasuki halte dia menatapku kemudian tersenyum. Sadar bahwa kami dipertemukan kembali.

“Mau turun di Khadijah lagi, mbak?” Tanyanya padaku sembari menunggu busway datang.
“Iya, ibu saya dirawat di sana.” Jelasku singkat.
“Wah sama. Tapi ayah saya di rawat di Rumah Sakit Umum. Darah tingginya kumat.” Mulai darisitu perbincangan kami mulai melebar. Seputar ibuku dan ayahnya. Bercerita bagaimana darah tinggi ayahnya kambuh akibat menahan amarah pada anak muridnya yang bandel. Ayahnya yang sebenarnya pemaaf namun memendam banyak masalah. Terlalu banyak pikiran. Dia sampai capai membujuk ayahnya untuk sedikit membagi cerita tapi beliau enggan. Takut membebani keluarga, katanya.

Sebaliknya aku juga mulai bercerita tentang ibu. Bagaimana ibu bisa masuk rumah sakit. Seperti yang kuceritakan diawal. Kemudian saat aku mulai menikmati perbincangan kami busway yang kami tunggu (bahkan aku lupa sedang menunggu busway) telah datang. Untungnya kali ini busway lebih lengang, bahkan aku dan dia bisa duduk bersebelahan melanjutkan perbincangan kami yang tertunda. Dia menanyakan ruang rawat inap ibu, ingin menjenguk ibuku. Aku juga demikian. Menanyakan ruang rawat inap ayahnya, ingin menjenguk beliau juga. Esok hari saat aku akan berkunjung sebentar sebelum menjenguk ibu, dia malah melarangku.

“Besok ayahku sudah pulang kok, tidak usah dijenguk hehe.” Aku menunduk lesu.

“Sebagai gantinya aku ingin bercerita.” Mendengarnya aku langsung memandang ke arahnya.

“Salah satu tempat indah di Palembang, mungkin kamu sudah pernah dengar. Tapi aku tidak pernah bisa berhenti mengucap syukur pernah berada di sana. Gunung Dempo. Memang tak sehebat Bromo atau Mahameru, tapi kebanggaan tersendiri kota kelahiranku masih punya satu. Jalan memang memakan waktu, tapi di awal kita disuguhkan hamparan kebun teh ditambah petani teh bercaping yang memikul keranjang untuk memetik daun teh. Waktu itu aku sempat membantu petani setempat, pengalaman yang seru. Mendaki trek yang memang tak begitu sulit, tapi bersama para sahabat aku menikmati lukisan hijau di bawah gunung, itu jadi momen indah tersendiri. Udara yang menusuk tulang membuatku ingin segera mencapai puncak, menyalakan api unggun, menghangatkan diri, kemudian menikmati kembang api dari atas sana. Sayang bagian terakhir belum tercapai, kami harus segera turun karena salah satu teman kami asmanya kambuh akibat terlalu lelah. Mau tak mau kami harus mengantarnya pulang. Selain itu,” ceritanya terhenti. Aku sudah sampai di Halte Khadijah, padahal aku ingin mendengar kelanjutan dari selain itu. Esokpun ternyata aku tak punya kesempatan lagi.

“Sangat ingin ke sana?” Tanya ibuku usai kuceritakan dia yang memamerkan sedikit kendahan Gunung Dempo. Aku mengangguk pelan.

“Ingin ke sana atau ingin bertemu pria itu?” Aku tertegun, tak menyangka ibuku malah punya pikiran lain.

“Mustahil ibu bertemunya lagi, hari ini ayahnya sudah pulang. Tak mungkin bertemu, kami kan tidak pernah janjian untuk ke sana bersama.” Ibu tersenyum mendengar teoriku.

“Apa kalian janjian untuk bertemu di halte busway?” Aku terdiam. Ibu benar.

“Kalau Tuhan memang berkehendak mempertemukan kalian di halte busway, bukan hal yang mustahil untuk mempertemukan kalian di tempat lain. Besok, lusa, atau kapanpun Tuhan ingin.” Ibu mengusap tanganku lembut. Mengalirkan keyakinan yang tersirat dalam kehangatan usapannya. Ibu yang paling mengerti aku.

“Sekalipun kalian cuma bertemu tiga hari di halte, bisa jadi kalian akan bertemu setiap hari di rumah kalian nanti,” ibu kembali menggodaku. Aku tahu maksud ucapan ibu. Kelak aku akan menikah dengannya, dan kami akan setiap hari bertemu. Semoga saja begitu.

Genap seminggu ibuku sudah diperbolehkan pulang. Dengan syarat menjaga pola makanan dan menghindari makanan manis. Tentunya aku membantu ibu membuat jadwal makan dan ikut mengontrol agar asupan gizi yang ibu konsumsi pas. Kondisi ibu mulai membaik, sudah kuat berjalan sendiri walau pelan. Ini juga kehendakmu Tuhan, mengizinkan aku merawat ibuku. Merasakan sedikit yang ibu lakukan padaku saat aku sakit dulu waktu kecil.

“Ibu sudah bisa sendiri, ibu juga ingat takaran makan. Sudah cepat berangkat kuliah, jangan sampai bolos mata kuliah.” Aku pamit pada ibu, menuju halte busway terdekat dari rumahku. Halte busway lagi. Aku selalu teringat sosok singkat itu. Sebentar namun begitu melekat dalam benakku. Setiap hari aku selalu berharap bertemu dengannya di halte atau di dalam busway. Sayang, Tuhan tidak menyusun naskah itu. Aku harus menunggu adegan lain, dengan dia, atau bahkan dengan pria yang lain.

“Jodoh tak kemana, berdoa pada Tuhan untuk memberikanmu yang terbaik. Dia bisa jadi salah satu kandidatmu, atau yang lain. Jangan terlalu dipikirkan.” Aku kembali terngiang nasihat ibu. Aku tak seharusnya terus memikirkan dia. Tuhan sudah mempersiapkan satu untukku. Entah dia siapa. Berapa jaraknya dariku. Bagaimana kami bertemu. Tenang Reika, semua akan baik-baik saja.

Kegiatan kuliah akhir-akhir ini membuatku sibuk setengah mati. Tugas yang menyita waktu. Dengan deadline yang berdekatan sukses menyingkirkan pikiranku tentang dia. Akhir-akhir ini aku juga menumpang pulang-pergi kampus dengan teman sejurusanku. Bersama Luika, Ima, dan Rere yang merupakan teman satu komplek, kami menumpang mobil Fiona. Ini mendukung keinginan pemilik mobil untuk mengurangi polusi. Sebenarnya ini juga yang membuatku lebih menghemat ongkos dan tidak terlalu sering memikirkan dia, karena tak bertemu dengan halte atau busway lagi.

Disamping berhasil mengalihkan pikiranku, aku juga berhasil mendapat teman-teman yang baik. Siapa lagi kalau bukan ‘Go Go Car’. Genk yang isinya cewek-cewek penghuni setia mobilnya Fiona. Kami sering bertukar cerita selama perjalanan menuju atau pulang kampus. Mulai dari mata kuliah sampai masalah pribadi. Suasana mobil tak pernah ada matinya. Fiona, cewek pemberani yang punya aura kepemimpinan, selalu menengahi saat kami saling kata. Ima, cewek cerewet yang suka mengkritik salah satu tingkah kami yang dinilainya salah. Rere, cewek polos yang apa adanya, dia suka mengungkapkan apa saja yang ada dipikirannya tanpa berpikir panjang. Luika, cewek humoris yang selalu melempar candaan saat mobil sedang hening. Selain pulang-pergi bersama, saat ada waktu senggang kami pergi nonton atau karaoke bersama. Melepaskan sejenak urusan kuliah sejenak.

Sialnya aku kembali berharap bertemu dia setiap kami menghabiskan waktu senggang. Siapa tahu dia juga sedang berlibur. Pikirku. Sayangnya hal itu tak pernah terjadi, sekalipun aku tak pernah menemukan orang yang sama dengan pria waktu itu. Dengan sosoknya yang masih bergelayut di otakku.

“Nyari siapa sih, Ka?” tanya Ima padaku atau pada Luika? Aku diam saja dan tetap menyapu pandangan ke sekitar, menyangka yang Ima tanya itu Luika.

“Nyari siapa, Reika Desyuan?” ulangnya sambil menyebutkan nama lengkapku dengan penekanan tiap suku katanya.

“Nggak kok, Im.” Aku menunjukkan deretan gigi-gigi putihku padanya.

“Pulang nonton harus cerita!” Ima menatapku tajam dengan tatapan kamu-harus-ceritakan-semuanya. Padahal aku tak ingin membagi kisahku bagian ini pada mereka. Tak penting. Dan tak akan mengubah apapun kalau aku ceritakan, kan? Aku tetap tak akan bertemu dengannya. Memendam masalah. Oh, aku kembali teringat ayahnya. Semoga beliau selalu diberi kesehatan.

Usai menonton film, Ima langsung ingin minta pulang. Pasti ingin segera mendengar ceritaku, ya? Apa tingkahku tadi salah dimata Ima? Fiona tak keberatan memenuhi permintaan Ima, yang lain juga tak berkomentar. Padahal biasanya kami makan dulu. Ima tersenyum lebar berjalan menuju parkiran.

“Ayo cerita kamu tadi nyari siapa?” Tanya Ima langsung saat kami sudah berada dalam mobil. Sisanya menatapku heran.

“Maksud kamu, Im?” Rere yang tak mengerti duduk permasalahannya meminta penjelasan terlebih dahulu.

“Kalian ngerasa nggak sih, tiap hangout pasti Reika ada di belakang. Dia terlihat mencari seseorang.” Jelas Ima. Aku tak menyangka Ima sebegitu perhatiannya padaku.

“Iya sih, Reika selalu paling belakang kalau kita jalan. Sampai aku pikir dia bakal hilang. Haha ” Luika mengiyakan sembari tertawa.
“Coba cerita, Rei. Sepertinya itu mengganggumu.” Fiona membujukku. Khusus Fiona aku tak bisa menolak permintaannya. Aku menghela nafas panjang kemudian mulai bercerita. Mulai dari pertemuan tiga hari kami, percakapan, sampai keinginanku untuk ke Gunung Dempo, keinginan untuk menemukannya kembali. Juga tentang sekeras apapun aku berusaha napak tilas, tetap tak kutemui pria itu.

“Kamu nggak nanya namanya? Kuliah di mana? Alamatnya di mana? Sudah punya pacar belum?” Ima langsung menghujani dengan banyak pertanyaan.

“Bukannya harusnya cowok yang duluan?” Jawabku berdasarkan teori pendekatan yang kubaca dinovel-novel percintaan.

“Bener itu! Kalau cowoknya aja nggak berani duluan, bisa jadi dia nggak serius.” Ucap Fiona dengan penuh keyakinan.

“Bisa jadi dia nggak suka sama Reika.” Skak! Kata-kata Rere yang meluncur begitu saja telah tepat menghancurkan harapanku pada dia. Rere benar, bisa jadi dia memang tak menaruh hati padaku. Apalagi kami hanya bertemu dalam jangka tiga hari. Hanya orang bodoh yang bisa sebegitu suka pada seseorang yang baru ia kenal. Dan itu aku. Ah, Reika bodoh!

“Reika jangan sedih lagi, kalau jodoh pasti bertemu,” Luika memelukku dari samping. Pasti ia ingin aku baik-baik saja.

“Re, lain kali jangan ngeluarin kata pematah semangat ya!” Ima mengingatkan. Yang dibicarakann hanya terkekeh baru menyadari kata-katanya tadi memang sedikit menyakitkan. Lalu ikut memelukku. Sedangkan Ima dan Fiona hanya bisa menyemangatiku dari kursi depan.

Memasuki masa ujian aku makin serius belajar. Belajar untuk ujian dan belajar untuk melupakan pria itu. Obrolan GGC pun berubah menjadi seputar ujian dan materi-materinya. Kami jadi serius sekali selama perjalanan. Menuju kampus membahas materi yang kami rasa kurang jelas. Sepulang perjalanan membahas ulang soal-soal ujian. Begitu seterusnya sampai akhir ujian. Dan tepat usai ujian topik dalam mobil berganti.

“Liburan mau kemana?” Tanya Fiona. Kami berpandangan.

“Gunung Dempo!” Teriak kami serentak.

“Sekalian tahun baruan pasti seru!” Ima terlihat antusias.

“Kebetulan aku punya saudara di Pagaralam, menyewakan villa dekat sana. Ku rasa kita bisa bermalam di sana.” Seisi mobil bersorak sorai. Terutama aku. Akhirnya aku bisa ke sana. Mewujudkan inginku, menautkan ikrarku. Janji bodoh memang. Kalau aku bertemu dengan pria itu lagi di sana, aku akan berjuang untuk mendapatkannya sebagai pasangan hidupku! Kalau tidak, berarti Tuhan berkehendak lain.

Aku menceritakan rencana GGC pada ibu. Tentunya beliau turut senang. Entah atas dasar apa ibu mengatakan bahwa aku akan bertemu pria itu. Ibu sampai senyum-senyum sendiri membayangkan pertemuan kami. Khayalan ibu memang tak ada duanya. Aku jadi ikut sumringah. Membayangkan betapa romantisnya bertemu dia di Puncak Gunung Dempo sambil menatap bintang beradu kembang api. Meneriakkan ikrarku. Menghilangkan gengsiku selama ini. Indahnya bermimpi.

Hari ini pengumuman nilai ujian. Aku mendapat IPK 3,4. Lumayanlah. Begitu juga dengan anak GGC lain, semua mendapat IPK diatas 3. Kami jadi lega untuk melangkahkan kaki menuju Gunung Dempo. Ini awal yang baik. Perasaanku sedang baik hari ini. Ingin cepat ke sana. Cepat berada di puncak.

Kami berangkat selepas subuh. Mematikan AC mobil dan membuka jendela mobil. Merasakan terpaan angin yang masih belum banyak mengandung polusi. Setiap dua jam sekali Fiona dan Ima bergantian mengemudikan mobil, karena hanya mereka berdua yang memiliki SIM. Sisanya tidur, melihat keadaan sekitar, sambil sesekali bertanya sudah sampai di mana kita.

Selama empat jam perjalanan aku masih terjaga, menatap terus ke luar jendela. Daerah ini aku tak tahu namanya, baru pertama kali melihatnya.  Diam-diam aku melihat toko-toko di pinggir jalan, membaca nama toko sekaligus alamat di bawahnya. Lahat. Setelah bangunan-bangunan berpondasi terlewati, sisanya hamparan pepohonan hijau yang meneruskan sedikit cahaya matahari tak tak tertutup pepohonan. Hal seperti sangat jarang ditemui kota, hanya beberapa bagian saja yang tertutup pohon atasnya itupun hanya beberapa meter, seperti jalan di Kambang Iwak. Salah satu tempat yang sering dijadikan ajang perkumpulan beberapa komunitas seperti skaters, fixie, atau shuffle. Kadang tiap pagi aku jogging di sana, menyusuri jalan yang tertutup pohon, menikmati suasana asri di kota sepadat Palembang yang rasanya hampir setiap hari macet layaknya Jakarta.

Sempat aku lihat sungai yang mengalir di bawah kami. Melihatnya sampai ujung sanggup memandang. Airnya jernih. Terlihat jelas ada beberapa ikan yang melawan arus, beradu dengan derasnya aliran sungai. Begitu indah. Ingin rasanya mencelupkan kaki di sungai itu. Berbeda dengai Sungai Musi yang kulihat di bawah Ampera. Air di sana keruh, berwarna cokelat. Seandainya air Sungai Musi setransparan ini, mungkin sungai terpanjang di Pulau Sumatera itu telah menjadi duplikat dari Sungai Torne salah satu sungai terbersih di dunia yang berada di bagian utara Swedia dan Finlandia. Tak henti-henti aku mengucap syukur, takjum akan pemandangan sederhana yang memanjakan mata. Padahal baru sampai di.

“Kita sampai mana, Im?” Tanyaku karena lupa nama daerah ini.
“Lahat. Tinggal beberapa jam lagi. Sabar ya, Reika Desyuan.” Gadis berpipi chubby ini memang suka memanggil nama lengkapku. Unik, katanya. Reika artinya Keajaiban. Desyuan diambil dari kata Desember dan Januari, karena aku lahir diantara bulan itu. Ya, aku lahir tepat pukul 12 malam. Malam akhir dan awal tahun.

Aku kembali bergelut dengan pemandangan indah daerah Lahat. Angin serasa makin mengencang. Perlahan menggoda kelopakku untuk menutup. Aku kalah. Mataku terpejam sampai mereka membangunkanku.

“Bangun, Rei!” Gadis bersuara khas ini menggoyang-goyangkan tubuhku. Siapa lagi kalau bukan Fiona. Aku sudah hafal betul suaranya. Perlahan aku membuka mataku. Membiasakan intensitas cahaya yang masuk ke dalam indra penglihatanku ini. Aku mengedarkan pandanganku. Kebun teh di sudut kiri dan villa cukup besar di sebelah kanan. Jauh di depan ada sebuah gunung menjulang tinggi. Apakah itu Gunung Dempo?

Aku keluar dari mobil, membawa tas carierku ke dalam villa. Menggosok-gosokkan telapak tanganku untuk memberi sedikit kehangatan. Udara di sini begitu dingin, ditambah waktu berkunjung kami yang bertepatan dengan musim penghujan. Tak heran suhu udara di sini bisa dibawah 26 derajat celcius, selain memang karena berada di dataran tinggi juga karena dingin yang disisakan hujan.

Kamar kami ada di lantai dua. Ya, aku bersama yang lain satu kamar, walaupun masih banyak kamar kosong. Untuk mempererat jalinan pertemanan, kata Fiona. Kamar ini cukup besar, sangat besar malah. Ada dua kasur berukuran king size yang diantaranya dipasang karpet bulu dengan beberapa boneka. Di sudut kamar ada pintu untuk mengakses balkon depan. Dari balkon pemandangan yang terhampar kebun teh dan Gunung Dempo. Tentunya dengan jarak pandang lebih jauh karena ketinggian dari balkon ini. Sekilas aku melihat banyak pengunjung lain yang berjalan-jalan. Berfoto diantara pohon teh dengan pose merentangkan tangan. Setelah itu kembali memasukkan tangan ke saku jaket. Kedinginan.

Jam sudah menunjukkan angka satu. Kami juga merasa capai. Apalagi Fiona dan Ima yang sedari tadi mengemudi. Nanti malam kami juga harus mendaki, agar bisa berada di Puncak Gunung Dempo saat tahun baru. Artinya saat aku berulang tahun juga. Aku tak sabar menanti momen itu. Pasti itu akan jadi salah satu hal terindah dihidupku.

Aku bersama yang lainnya menelurusi jalan setapak. Trek pendakian tidak begitu sulit. Sejauh ini belum ada yang mengeluh, masih kuat mendakit dengan membawa carier berisi makanan instan dan keperluan lain seperti kotak P3K. Aku tersenyum senang jarak antara aku dan puncak makin menipis. Sesekali kami beristirahat kemudian mengabadikan detik itu dengan senyum merekah saat tombol shutter kamera ditekan. Kalau ada yang lewat kami minta bantuan untuk difoto berlima. Di jalan mendaki seperti ini sulit menggunakan tripod, tak ada bagian datar di sini. Sambil terus mendaki aku menikmati pemandangan sekitar. Semilir angin mengibaskan kerudungku. Dedaunan yang sudah berwarna cokelat jatuh, hinggap di atas kepalaku. Ku biarkan saja, biar angin yang membawanya. Biar perasaan ini juga angin yang membawanya. Kalau ia ingin, ia ia datang kembali. Kalaupun tidak aku juga ikhlas. Aku menyeka air mataku. Perasaanku akan segera kulepas jika saat dipuncak aku tak bertemu dengannya. Aku juga lelah terus mencari tanpa tahu siapa dia. Bagai mencari jarum dalam jerami. Yakin dia ada tapi tak kunjung kutemui, padahal aku sudah memegangnya, sudah pernah mengenalnya. Memang hanya tiga hari, tapi itu lebih dari cukup. Perasaan ini berkembang begitu saja.

Carier kami tinggalkan. Karena selanjutnya kami akan mendaki trek yang lebih sulit karena ini puncak hanya tinggal beberapa meter saja. Ayo, Reika lanjutkan langkahmu! Tiba-tiba gempa melanda. Aku panik. Teman-temanku meneriakan namaku. Begitu keras!

“Reika! Bangun!” Aku memaksa diriku bangun. Oh, itu cuma mimpi. Padahal sedikit lagi aku akan mencapai puncak kenapa malah dibangunkan?

“Cepat mandi, lekas turun ke bawah, kita makan, lalu berangkat!” Jelas gadis berkucir kuda ini padaku.

“Iya iya, Luika. Aku masih mengumpulkan nyawaku.” Aku berjalan gontai menuju kamar mandi. Kemudian menunaikan setiap perintah Luika tadi. Tak perlu berlama-lama dan aku siap! Tapi tunggu, sepertinya ada yang kurang.

“Rere mana?” Tanyaku menyadari gadis polos itu tak ada diantarai kami.

“Dari tadi belum selesai mandi?”Fiona merespon. Kamipun menuju kamar memastikan keberadaan Rere. Dan kami sangat terkejut melihat Rere yang menggigil berselimut. Wajahnya pucat sekali. Sepertinya ia kedinginan.

“Rere nggak mungkin ikut ke puncak, badannya panas banget. Harus ada paling nggak satu orang yang jaga dia. Siapa yang mau nemenin Rere?” Kami diam. Bahkan Fiona yang tadi mengajukan tempat juga diam.

“Aku!” Semua menoleh ke arahku. Aku tahu pasti dipikiran mereka aku ini aneh. Menyia-nyiakan kesempatan yang aku tunggu. Menikmati tahun baru di Puncak Gunung Dempo. Menggantungkan harapan bertemu pria itu di atas sana. Ya, kesempatan bisa datang lagi kan? Aku juga tak mau membiarkan Rere yang sedang sakit sendirian begini.

Aku mengantarkan mereka sampai teras. Melepas kepergian mereka yang akan menikmati tahun baru di atas sana. Di tempat aku menaruh keinginan terbesarku. Sekarang aku malah berdoa dia tak ada di puncak sana. Ada di tempat lain saja agar aku tidak merasa sakit yang berlebih karena menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengannya. Aku hendak masuk ke dalam villa mengecek keadaan Rere yang tadi barusan aku kompres.

“Assalamualaikum.” Suara itu. Apakah aku bermimpi? Suara itu. Aku ingat benar suaranya. Suara pria itu. Aku masih membeku. Perasaan tak percaya masih menyisakan tanda tanya besar.

“Halo, kamu dengar saya?” Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku berbalik kemudian menjawab salamnya tadi.

“Alhamdulillah kita bertemu lagi. Nggak ke puncak?” Tiap pertanyaan yang selalu aku rindukan. Kembali aku dengar. Aku ingin menangis saat ini juga.

“Teman aku sakit, aku harus menjaganya.” Oh tidak, aku mulai menitihkan air mata.

“Sebegitu sayangnya ya, sampai nangis begitu?” Bukan. Aku menitihkan air mata ini karena aku bahagia. Tak perlu sampai dipuncak aku telah dipertemukan secara ajaib dengan sosok yang selama ini aku cari. Ingin sekali aku berkata begitu tapi lidah ini terasa kelu.

“Mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku ingin meminta alamat rumahmu. Ada yang ingin aku katakan pada orang tuamu.” Ini perasaanku saja atau memang dia ada maksud lain?

“Aku ingin melamarmu.” Duar! Kembang api dalam hatiku meletup begitu saja. Sungguh ini. Aku. Apakah aku bermimpi? Benarkah yang dia katakan? Air mataku makin menjadi. Dia menyodorkan sapu tangannya padaku.

“Aku merasa sangat bahagia. Tak pernah terpikirkan skenario sehebat ini telah dituliskan oleh Tuhan.” Dia hanya tersenyum. Senyum yang terasa sejuk saat kupandangi dalam tiga hari itu. Segala sikap baik yang ia tunjukkan walau sedikit sudah membuat hatiku mantap.

Kembang api penuh warna diikuti suara lantangnya. Menyinari puncak gunung yang terlihat indah dari teras villa ini. Dipadu hembusan lembut angin yang menggesek pucuk-pucuk pohon teh. Bintang berkelip seakan mengedipkan mata ke arahku. Meledekku yang sedang bahagia mendapat kabar semenakjubkan ini. Gunung Dempo jadi saksi yang indah. Tahun baru yang indah. Ulang tahun yang indah. Keanu. Dia yang terindah.

1 comment:

ayo komentar postingan ini, pasti komentar kalian akan sangat berguna buat saya khususnya. komentar ya....